Skip to main content

Pelangi di Indonesia



Pelangi di Indonesia
*Oleh Sinta Dwita Surya

 
Picture by: telegraph.co.uk 

Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender atau LGBT merupakan kepeminatan secara seksual pada diri orang-orang tertentu. Mereka memiliki ketertarikan yang berbeda dengan orang pada umumnya. LGBT semakin marak dibicarakan setelah statusnya dilegalkan oleh pemerintah Amerika Serikat pada 26 juni 2016. Lalu, bagaimana dengan LGBT di negara-negara lain?

Indonesia misalnya, tidak menetapkan LGBT sebagai tindakan kriminal. Akan tetapi, LGBT menuai banyak pro dan kontra di kalangan aktivis Hak Asasi Kemanusiaan (HAM), budayawan, dan terutama tokoh agama. Peran mereka tentunya sangat berpengaruh terhadap opini masyarakat mengenai LGBT. Ketertarikan seksual yang tidak mainstream ini membuat para LGBT menjadi “berbeda”. Dengan perbedaan inilah, masyarakat umum sering mengucilkan mereka, menganggap mereka tidak normal, dan menyalahi aturan.

Selain itu, masyarakat merasa khawatir bahwa mungkin kaum LGBT akan “naksir” kepada mereka yang non-LGBT. Padahal, orang-orang LGBT hanya akan tertarik kepada kaum LGBT juga. Mereka tidak akan memaksa seseorang yang non-LGBT untuk memiliki ketertarikan dan perasaan yang sama terhadap mereka.

 
Picture by: apa.org 

Sikap masyarakat yang demikian membuat para kaum “Pelangi” ini menjadi tertutup. Kehadiran LGBT mungkin bisa menjadi alternatif solusi, ketika populasi semakin meningkat. Pasangan LGBT yang menikah hampir tidak mungkin memiliki keturunan secara langsung. Hal ini membuat mereka harus melakukan adopsi, tentunya jika ingin memiliki anak. Secara tidak langsung hal tersebut mengurangi jumlah anak-anak yatim. Lalu, bagaimana dengan kualitas pola asuh kaum LGBT dengan masyarakat biasanya? 

Terdapat sebuah studi yang menyatakan bahwa ibu lesbian memiliki nilai lebih tinggi daripada ayah heteroseksual dalam kesensitifan dan keefektifan dalam pengasuhan anak. Studi ini juga menyatakan bahwa anak-anak yang diasuh oleh orangtua LGBT juga akan memiliki kualitas yang sama dalam perkembangan psikologi, pengarahan gender, serta sosialisasi dengan masyarakat sekitar, dengan anak yang diasuh oleh orangtua non-LGBT. 

Berbicara mengenai anak, seorang psikiatris seksual, hipnoterapis, dan gravoterapis Indonesia pernah mengungkapkan pendapatnya mengenai bawaan lahir dan LGBT. Baby Jim Aditya, mengatakan bahwa LGBT khususnya homoseksual bukan terjadi karena infeksi ataupun hormon. Ketertarikan sesama jenis ini dapat terbentuk bahkan ketika bayi masih dalam kandungan. 

Bawaan lahir atau bukan, normal atau tidak, dan benar atau salah, semua bergantung pada cara pandang dan prinsip masing-masing. Namun, satu hal yang pasti tidak ada orang di dunia ini yang ingin diperlakukan dengan tidak adil. Perlakuan baik dan pantas dari masyarakat terhadap hal yang “berbeda” tentunya memengaruhi stabilitas keharmonisan masyarakat. Karena keharmonisan merupakan sebuah bagian yang besar, mari menatanya dari hal yang kecil, seperti “Hijrah” menjadi pribadi yang lebih baik.

*Penulis adalah Pegiat LPM Siar UKMP UM
 

Comments

Popular posts from this blog

Pemira FIS Ternodai

Indikasi Pemalsuan Syarat Pencalonan di HMJ Geografi Rabu (25/11) – Ketua Komisi Pemilihan Fakultas Ilmu Sosial (KPFIS), Junaidi, mengatakan   bahwa terjadi beberapa permasalahan pada serangkaian kegiatan Pemilihan Raya (Pemira) FIS. Salah satunya adalah i ndikasi pemanipulasian sertifikat ospek jurusan oleh Himpunan Mahasiswa Jurusan Geografi (HMJ Volcano) untuk wakil calon nomor 1, Rezra. ”Ada ketidakterimaan dari beberapa mahasiswa mengenai salah satu calon, gara-gara ada salah satu calon yang persyaratanya nggak tepat, menurut mereka. Contohnya sertifikat mbak, menurut sang pelapor itu palsu”, ujar Subur selaku Ketua KPFIS.

Menang Tanpa Perang

 Oleh: Fajar Dwi Affanndhi Pesta tak lagi meriah. Tidak seperti pesta yang biasa kita ketahui, hingar bingar, penuh warna-warni, dan dinanti-nanti. Pesta demokrasi di kampus ini sepi. Jangan harap perdebatan panas antar calon pemimpin. Ketika calonnya saja hanya satu. Ya, calon tunggal   tanpa lawan. Pemilu Raya, atau yang biasa kita sebut PEMIRA, kini seakan hilang greget -nya. Hampir di semua fakultas di UM terdapat calon tunggal.   Baik itu calon ketua BEM, ketua HMJ, atau bahkan yang lebih parah, calon DMF yang seharusnya dipilih lima orang dari setiap jurusan, malah hanya ada satu calon dalam satu fakultas yang notabene terdiri dari beberapa jurusan. Padahal, adanya calon tunggal bukan tidak mungkin yang terjadi mereka bakal   “menang tanpa perang”.  

Carut Marut Tempat Parkir UM: Mulai Sempitnya Lahan hingga Uang Parkir buat Jajan

      Saat ini, transportasi sudah menjadi kebutuhan primer. Berbagai macam alat transportasi diciptakan untuk memenuhi kebutuhan manusia berpindah dari satu lokasi ke lokasi lain, apalagi jika menempuh jarak yang cukup jauh. Salah satu alat transportasi paling populer di Indonesia adalah motor. Motor sangat populer di kalangan pelajar dan mahasiswa. Setiap fakultas memiliki tempat parkir sendiri-sendiri, namun tidak mewajibkan mahasiswanya untuk memarkirkan motor berdasarkan fakultas masing-masing. Anehnya, meskipun dalam satu fakultas, berbeda tempat parkir juga berbeda sistem pengelolaannya. Hal ini dapat kita lihat di tempat parkir Fakultas Sastra (FS). Seharusnya hanya motor yang dikenai biaya parkir, tapi sepeda pun dikenai biaya parkir. Meskipun jumlah sepeda tidak seberapa dibandingkan motor, tetapi tetap saja hal ini menyalahi aturan.