Skip to main content

Menang Tanpa Perang



 Oleh: Fajar Dwi Affanndhi

Pesta tak lagi meriah. Tidak seperti pesta yang biasa kita ketahui, hingar bingar, penuh warna-warni, dan dinanti-nanti. Pesta demokrasi di kampus ini sepi. Jangan harap perdebatan panas antar calon pemimpin. Ketika calonnya saja hanya satu. Ya, calon tunggal  tanpa lawan. Pemilu Raya, atau yang biasa kita sebut PEMIRA, kini seakan hilang greget-nya. Hampir di semua fakultas di UM terdapat calon tunggal.  Baik itu calon ketua BEM, ketua HMJ, atau bahkan yang lebih parah, calon DMF yang seharusnya dipilih lima orang dari setiap jurusan, malah hanya ada satu calon dalam satu fakultas yang notabene terdiri dari beberapa jurusan. Padahal, adanya calon tunggal bukan tidak mungkin yang terjadi mereka bakal  “menang tanpa perang”.  


PEMIRA kini seakan tak punya daya tarik bagi mahasiswa-mahasiswa di kampus negeri berjuluk The Learning University ini. Entah apa yang sedang terjadi dengan mahasiswa di kampus ini. Apa mungkin mereka sudah bosan atau bahkan takut mengadu pemikiran di mimbar terbuka? Bagi mahasiswa yang apatis mungkin saja. Jangankan beradu pemikiran, visi dan misi, atau sejenisnya. Diajak berpikir saja belum tentu mau. Mungkin mereka sudah terkena penyakit sinisme yang akut. Menganggap politik mahasiswa tidak penting, buang-buang waktu dan mengganggu kuliah. Kalau begitu, bagaimana dengan para aktivis mahasiswa? Mereka yang biasa dipanggil mahasiswa kura-kura (kuliah rapat-kuliah rapat), mengikuti forum diskusi, sampai menghadiri seminar di sana-sini. 

Bukanlah aktivis namanya kalau acuh tak acuh pada apa yang sedang terjadi, apalagi di kampusnya sendiri. Bisa jadi ini merupakan kegagalan regenerasi dari organisasi-organisasi mahasiswa, terlebih Organisasi Mahasiswa Ekstra Kampus atau OMEK, yang selama ini banyak melahirkan para aktivis kampus. Gie, Arif Boediman, dan Sjahrir adalah segelintir nama aktivis pergerakan mahasiswa saat orde lama. Saat ini juga tidak sedikit mahasiswa yang menjadi kader OMEK, entah itu dari HMI, PMII, KAMMI, GMNI, dan IMM dimana organisasi-organisasi ini sudah ada sejak lama, bahkan beberapa diantaranya lahir semenjak orde lama berkuasa.

Tidak bisa dipungkiri, keberadaan OMEK banyak memberi warna bagi kehidupan mahasiswa di kampus. Meskipun, tidak sedikit juga kini pihak yang antipati terhadap keberadaan OMEK. Golongan-golongan besar ini “seharusnya” memiliki kader-kader yang kompeten, punya potensi menjadi pemimpin. Jadi sangat aneh, ketika begitu banyak organisasi mahasiswa dengan segala kompetensi dan ideologinya, namun kenapa hanya sedikit yang berani naik ke panggung politik untuk saling berunjuk gigi? Dukungan massa sudah diraih dari golongan sendiri, tinggal menguatkan perolehan suara melalui golongan “netral” yang notabene belum memiliki gambaran sosok yang akan dipilihnya nanti. Persaingan mestinya bakal sangat ketat apabila setiap elemen mahasiswa ini memaksimalkan peluang yang ada.

Kampus adalah gambaran kecil dari sebuah tatanan kepemerintahan. Tempat dimana mahasiswa belajar menjadi pemimpin yang berdemokrasi. Kampuslah yang melahirkan bakal calon pemimpin negeri. Bahkan ketika pemimpin-pemimpin kita sekarang yang sedang berkuasa di negeri ini lalai dengan kewajibannya, mahasiswalah yang harus bergerak. Kaum intelektual muda yang penuh gairah revoluisoner tidak boleh diam. Termasuk ketika tahap proses seperti ini, PEMIRA adalah kesempatan mahasiswa untuk menunjukkan tajinya. Berpesta semeriah mungkin dalam demokrasi menjadi salah satu reinterpretasi bahwa mahasiswa tidak sedang tidur. 
                                                                                                               

Comments

  1. ada sesuatu yang tidak berjalan semestinya. itulah titik awal mengapa keadaan "apatis" terus menerus berkembang biak di UM. Mungkin tidak perlu diambil sampel dari beberapa fakultas, karena pada umumnya beberapa organisasi mahasiswa memang tidak benar-benar berjalan sesuai dengan tujuan ormawa. sehingga mahasiswa umum menganggap bahwasanya mereka hanyalah sekumpulan organisator tanpa ideologi.
    ambil contoh di salah satu fakultas, dewan mahasiswa fakultas? apakah mereka bisa benar-benar dikatakan dewan? sedangkan disalah satu fakultas saja mereka tidak benar-benar menampung aspirasi mahasiswa untuk dijadikan konsesnsus. mereka hanya sekumpulan mahasiswa yang rapat tiap sore tanpa ada perubahan, dan ketika ditanyai ini itu. seperti tipikal mahasiswa pada umumnya, hanya berusaha mematahkan pertanyaan dengan alasan-alasan palsu. badan eksekutif? apa itu? apakah mampu benar-benar menjadi organisasi penggerak kegiatan mahasiswa? ataukah hanya menjadi event organizer yang menjadi ladang penghancuran bagi uang negara? (dari pajak dll). lalu ada lagi himpunan mahasiswa, entah HMJ atau HMP. himpunan mahasiswa dan/atau ikatan keluarga mahasiswa aalah organisasi yang bergerak dibidang kelilmuan program studi, bukannya setiap hari menggelar inagurasi tanpa isi.
    melalui hal-hal tersebut, maka dapat dikaji sesuai dengan artikel diatas. mengapa apatisme terus berkembang biak? Pertama, orang yang duduk di peemerintahan dalah mereka yang tidak paham dengan pemerintahan. akibatnya? organisasi mahasiswa hanya berusaha untuk menggugurkan kewajiban (menjalankan proker seadanya atau bahkan mengekor kepengurusan sebelumnya). Kedua, faktor pertama tadi menyebabkan tidak adanya perubahan secara progresif di organisasi mahasiswa, akibatnya? ormawa hanya begitu-begitu saja setiap tahunnya, ketuanya hanya seperti itu saja karna tidak adanya kaderisasi yang jelas. Ketiga, kedua faktor tadi menyebabkan pandangan mahasiswa kepada organisasi mahasiswa hanya sebelah mata. otomatis? apatisme pun tak terhindarkan.
    1. tidak adanya sdm yang memadai di ormawa, atau memadai tapi kurang terwadahi
    2. ormawa yang berjalan tanpa tujuan pasti
    3. apatisme terus berkembang, akibat lemahnya elemen kampus dan pasifnya kondisi.
    lantas? harus ada perubahan secara makro dalam pergerakan organisasi mahasiswa UM. semoga presiden terpilih nanti dapat membenahi banyak kekurangan dengan bergerak pasti melawan apatisme secara makro. karena perjuangan yang dilakukan secara faksi-faksi (parsial) hanya akan membuat perubahan yang sifatnya artifisial dan tidak berguna.

    ReplyDelete
  2. Saya termasuk mahasiswa yang apatis di kampus ini, saya tidak pernah sekalipun ikut pemira. Bukan tanpa alasan, tapi bagi saya memilih adalah membandingkan. Bagaimana saya akan memilih jika tidak ada yang saya bandingkan. Setiap tahun hanya disuguhkan dengan calon tunggal yang bahkan jika saya diam dia tetap menang. Alasan lain seperti komentar di atas. Ormawa hanya seperti event organizer, belum lagi masih ada pungutan terhadap mahasiswa demi terlaksananya event mereka padahal sudah dapat uang dari fakultas dan sponsor. Mungkin itu yang membuat saya sinis terhadap ormawa. Tak ada pergerakan yang berarti

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Pemira FIS Ternodai

Indikasi Pemalsuan Syarat Pencalonan di HMJ Geografi Rabu (25/11) – Ketua Komisi Pemilihan Fakultas Ilmu Sosial (KPFIS), Junaidi, mengatakan   bahwa terjadi beberapa permasalahan pada serangkaian kegiatan Pemilihan Raya (Pemira) FIS. Salah satunya adalah i ndikasi pemanipulasian sertifikat ospek jurusan oleh Himpunan Mahasiswa Jurusan Geografi (HMJ Volcano) untuk wakil calon nomor 1, Rezra. ”Ada ketidakterimaan dari beberapa mahasiswa mengenai salah satu calon, gara-gara ada salah satu calon yang persyaratanya nggak tepat, menurut mereka. Contohnya sertifikat mbak, menurut sang pelapor itu palsu”, ujar Subur selaku Ketua KPFIS.

LPJ Ajarkan Korupsi pada Mahasiswa*

Jika kita membicarakan tentang korupsi memang tidak akan pernah ada habisnya. Dari siapa yang bertanggung jawab sampai bagaimana korupsi itu selau meracuni moral bangsa Indonesia. Banyaknya koruptor juga tidak lepas dari peran pendidikan yang ada pada jenjang sekolah ataupun pendidikan yang tertanam pada keluarga sejak kecil. Kebiasaan berbohong yang di ajarkan oleh para orang tua memicu salah satu bibit-bibit koruptor. Contohnya seperti ini, ada orang tua bilang ke anaknya “nak nanti kalau ada yang mencari mama, bilang yaa mama sedang keluar” padahal si mama sedang asyik-asyik menonton TV di dalam rumah. Secara tidak langsung sang mama mengajarkan berbohong pada si anak. Ketika anak terdidik untuk tidak jujur, maka kebiasaan ini akan membentuk karakternya, apalagi tanpa adanya landasan agama yang jelas.