Skip to main content

Ruang Sendiri

Ruang Sendiri
*Shinta Dwita Surya

Picture by: chezputranto.wordpress.com


“Kita tetap butuh ruang sendiri-sendiri... percayalah, rindu itu baik untuk kita” merupakan kutipan lagu “Ruang Sendiri” yang diciptakan dan dinyanyikan oleh penyanyi soloist Indonesia, Tulus. Lagu ini mengisyaratkan bahwa pasangan kekasih yang saling mencintai pun membutuhkan ruang dan waktu untuk dirinya sendiri. Bukan hanya pasangan, orang tua dan anak juga membutuhkan ruangnya sendiri. Statement ini mungkin terkesan durhaka, akan tetapi terdapat alasan yang mampu mendukung pernyataan ini.
    Teman-teman mahasiswa yang tinggal di kos acap kali mengatakan bahwa jauh lebih enak tinggal di rumah daripada kos. Ketika tinggal di rumah bersama orangtua, segala kebutuhan kita akan dengan mudahnya terpenuhi. Namun, semua itu hanyalah mengenai kebutuhan dari segi materi. Pertanyaannya, cukupkah itu? Kemudian bagaimana dengan kebutuhan psikis? Terjaminkah kebutuhan psikis ketika tinggal di rumah bersama keluarga?
Sebagai mahasiswa, bersosialisasi menjadi hal yang penting. Salah satu caranya, yakni dengan bergabung bersama organisasi. Melalui organisasi, bukan hanya teman yang didapatkan, tapi juga ilmu yang bermanfaat seperti cerita pengalaman teman-teman satu organisasi. Selain itu, dengan berorganisasi, seseorang dapat melatih rasa tanggung jawab atas segala amanah yang diberikan organisasi. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa organisasi banyak menyita waktu karena kegiatan-kegiatan yang diselenggarakannya.. Hal tersebut membuat orangtua, terutama yang belum pernah bergabung dalam sebuah organisasi, merasa bahwa waktu anak-anaknya terbuang sia-sia pada kegiatan tersebut. 

picture by:ciricara.com

Inilah permasalahan bagi seseorang yang tinggal serumah dengan orangtua. Mereka lebih senang ketika anak-anaknya diam di rumah, membantu untuk menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan rumah. Walaupun mereka juga ingin anak-anaknya aktif dalam sosial dan memiliki banyak teman. Dilema seperti inilah yang menyebabkan anak menjadi pribadi yang introvert, mereka lebih memilih kesendirian sebagai zona nyaman mereka, sehingga sulit untuk berekspresi di depan khalayak umum.
Orangtua tidak menyadari bahwa anak juga memiliki titik stress ketika mereka diharuskan untuk terus-menerus menetap di rumah. Titik stress tersebut dapat berefek negatif pada hal lainnya. Orangtua juga tidak menyadari bahwa dengan berorganisasi, anak-anak mereka akan terlatih untuk menjadi pribadi yang lebih tangguh ketika dihadapkan pada problematika kehidupan sehari-hari.
Disinilah “Ruang Sendiri” itu dibutuhkan, ketika orangtua tidak bisa mengontrol setiap kegiatan yang dilakukan anak-anaknya. Cukup dengan memberi kepercayaan penuh terhadap mereka, jika mereka sudah cukup dewasa untuk mengerti, mereka pasti akan bertanggungjawab dengan segala kepercayaan orangtuanya. Terlebih lagi ketika anak-anak tersebut diperbolehkan untuk merantau, dan menjalani kehidupan mereka sendiri tanpa ada campur tangan dari orangtua. Mereka perlu dibiasakan untuk memecahkan segala permasalahan hidup dengan cara mereka sendiri. Dengan demikian, mereka akan terbiasa untuk bertanggung jawab, berpikiran kreatif, dan tidak selalu bergantung pada orang lain.

*Penulis adalah pegiat LPM Siar UKMP UM

Comments

Popular posts from this blog

Pemira FIS Ternodai

Indikasi Pemalsuan Syarat Pencalonan di HMJ Geografi Rabu (25/11) – Ketua Komisi Pemilihan Fakultas Ilmu Sosial (KPFIS), Junaidi, mengatakan   bahwa terjadi beberapa permasalahan pada serangkaian kegiatan Pemilihan Raya (Pemira) FIS. Salah satunya adalah i ndikasi pemanipulasian sertifikat ospek jurusan oleh Himpunan Mahasiswa Jurusan Geografi (HMJ Volcano) untuk wakil calon nomor 1, Rezra. ”Ada ketidakterimaan dari beberapa mahasiswa mengenai salah satu calon, gara-gara ada salah satu calon yang persyaratanya nggak tepat, menurut mereka. Contohnya sertifikat mbak, menurut sang pelapor itu palsu”, ujar Subur selaku Ketua KPFIS.

LPJ Ajarkan Korupsi pada Mahasiswa*

Jika kita membicarakan tentang korupsi memang tidak akan pernah ada habisnya. Dari siapa yang bertanggung jawab sampai bagaimana korupsi itu selau meracuni moral bangsa Indonesia. Banyaknya koruptor juga tidak lepas dari peran pendidikan yang ada pada jenjang sekolah ataupun pendidikan yang tertanam pada keluarga sejak kecil. Kebiasaan berbohong yang di ajarkan oleh para orang tua memicu salah satu bibit-bibit koruptor. Contohnya seperti ini, ada orang tua bilang ke anaknya “nak nanti kalau ada yang mencari mama, bilang yaa mama sedang keluar” padahal si mama sedang asyik-asyik menonton TV di dalam rumah. Secara tidak langsung sang mama mengajarkan berbohong pada si anak. Ketika anak terdidik untuk tidak jujur, maka kebiasaan ini akan membentuk karakternya, apalagi tanpa adanya landasan agama yang jelas.