Picture by: Qureta.com |
Pemuda
Dalam Pergolakan Politik
Nasional
*Randi
Muchariman
Mari kita memulainya dengan sebuah cerita. Tentang seorang pemuda yang resah dengan
kehidupan petani yang setiap hari bekerja namun ia tidak mendapatkan hasil yang
setara dengan yang telah dikerjakannya karena lahan yang digarapnya bukan milik
dirinya sendiri.
Pemuda itu terus hidup dan melalui berbagai peristiwa dengan keresahannya. Ia membangun gagasan dan narasi bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk bangsanya. Ia memiliki kecintaan terhadap rakyat dan bangsa yang sedang dibangunnya. Sehingga ia sampai hati harus menyatakan bahwa andaikata harus bekerjasama dengan iblis untuk memerdekakan bangsanya, maka itu akan dilakukannya.
Pemuda itu terus hidup dan melalui berbagai peristiwa dengan keresahannya. Ia membangun gagasan dan narasi bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk bangsanya. Ia memiliki kecintaan terhadap rakyat dan bangsa yang sedang dibangunnya. Sehingga ia sampai hati harus menyatakan bahwa andaikata harus bekerjasama dengan iblis untuk memerdekakan bangsanya, maka itu akan dilakukannya.
Pemuda itu kita
kenal sebagai proklamator kemerdekaan Indonesia bersama Muhammad Hatta, namanya
Soekarno. Soekarno tidak mungkin akan masuk dalam pergolakan politik nasional
kecuali ia memiliki keresahan, memiliki kecintaan, memiliki sebuah gagasan, dan
memiliki kemampuan untuk bertahan. Bukankah Soekarno pernah didakwa pengadilan,
dan ia masih tetap bertahan.
Memang, pemuda
yang tidak memiliki keresahan, kecintaan, gagasan, dan kemampuan bertahan dapat
masuk dalam pergolakan politik nasional. Namun, ia menjadi korban dan perusak
dari pergolakan politik nasional itu. Bagaimanapun, pergolakan politik nasional
itu adalah sesuatu yang niscaya dalam struktur kebangsaan (politik nasional)
Indonesia. Jadi, pergolakan politik nasional adalah sebuah keniscayaan dan
bukan sebuah aib. Justru, itulah pokok persoalan dari kehidupan politik yang
sedang berlangsung sejak dahulu.
Kamus Besar
Bahasa Indonesia menyebutkan arti pergolakan sebagai keadaan tidak tenang,
kekeruhan dalam lapangan politik, huru hara dan sebagainya, serta perjuangan
hidup. Pergolakan, dalam politik nasional Indonesia adalah persoalan yang sejak
awal telah terancang dan terkondisikan.
Keadaan itu masih bertahan hingga
saat ini. Mari kita memahami
argumen dari pendapat tersebut.
Sifat Politik Nasional Indonesia
Politik nasional
Indonesia merupakan suatu kesepakatan dan perpaduan dari unsur-unsur yang
secara mendasar dari tingkat falsafah sudah bertolak belakang dan tak bisa
bersatu. Secara falsafah unsur-unsurnya dipastikan terjadi pertembungan atau
benturan.
Secara falsafah,
politik nasional Indonesia terdiri dari unsur Islam dan unsur Barat. Perlu
dipahami, bahwa Islam dan Barat akan selalu berbenturan dalam tingkat pandangan
alam. Hal itu bisa terjadi karena pandangan alam Barat memiliki karakter yang
berbeda dengan Islam. Meskipun terdapat sedikit kesamaan, karena Barat
membangun dirinya –salah satunya- berdasarkan unsur Islam. Namun, secara
keseluruhan Barat dan Islam bertentangan dalam pandangan alam.
Perbedaan ini
merupakan mata air yang tak pernah
kering yang akan menyuburkan segala macam pergolakan dalam politik
nasional Indonesia. Keadaan itu juga didukung oleh sebuah kenyataan sejarah
dalam revolusi di Indonesia yang benar-benar telah meninggalkan tatanan yang
lama dalam agenda pembangunan nasional pasca kemerdekaan.
Setelah
revolusi, keadaan yang masih dipertahankan oleh Pemerintah Kolonial itu
dihancurkan melalui sistem republik yang sedang dibangun. Meski demikian, modal
sosial baru yang didasarkan atas cita—cita dan kenyataan faktual politik
kontemporer saat itu tak mampu dengan
mudah bersaing dengan yang apa yang sudah sejak lama terbangun.
Pemerintahan Soekarno diakhiri dengan kegagalan revolusi komunis di Indonesia. Orde Baru
memilih model pemerintahan
birokrasi militer dan membangun
perlawanan dengan Islam politik di awal pada akhirnya tetap harus memilih untuk
mengubah menjadi sebaliknya. Dan justru disaat itulah Orde Baru menghadapi
ajalnya.
Modal sosial
memang tidak bisa terbentuk dalam waktu
yang singkat. Ia terbentuk dalam
kurun waktu puluhan tahun. Dan, apabila sebuah moda yang lama telah rusak, maka
belum tentu dapat kemmbali dibangun dalam waktu
seketika . Padahal, modal sosial adalah salah satu hal terpenting yang membuat kehidupan
politik dan ekonomi menjadi mudah serta lancar.
Perpecahan Terjadi
Sejak Pemuda
Pergolakan
politik nasional yang merupakan keniscayaan tersebut terbangun karena
perpecahan itu terjadi sejak dari bangsa Indonesia itu masih muda. Berdasarkan
kebijakan politik etis, golongan muda dan golongan elit (bangsawan, keturunan
raja/sultan,dan pejabat atau distributor perdagangan) telah dipisahkan dari
modal sosial dan solidaritas sosial lama mereka. Para pemuda tidak lagi menjadi juru bicara
dan pendukung modal sosial yang lama, tapi justru menjadi pendukung suatu
kekuatan baru yang sesuai dengan gagasan yang terkandung dalam pengajaran yang
mereka terima. Keadaan inilah yang terjadi ketika bangsa Indonesia sedang
terbit atau akan lahir.
Keterpecahan ini
tetap bertahan dalam generasi muda selanjutnya karena tiap-tiap pemuda yang
telah menjadi pemimpin itu mempertahankan kepemimpinan mereka agar diteruskan
oleh orang-orang yang seperti mereka.
Proses konsolidasi pada dasarnya tidak pernah terjadi pada generasi-generasi
setelah mereka. Sebabnya ialah, perpecahan ini didukung oleh benturan yang
terjadi dalam pandangan alam seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
Satu-satunya
solusi untuk menuntaskan perpecahan itu adalah dengan menyeret satu kelompok
kepada kelompok lainnya. Hanya dengan inilah perpecahan itu dapat diatasi
karena memang dengan cara inilah perpecahan itu dimulai. Maka dalam keadaan
seperti ini, pemuda yang tidak memiliki atau memegang sebuah gagasan, tidak
akan mampu bertahan dalam kemuliaan dalam gagasannya tersebut. Keresahan dan kecintaan
terhadap rakyat, tidak akan membuat mereka terhindar dari pergolakan. Namun,
keresahan dan kecintaan itu akan menghindarkan mereka dari mengorbankan rakyat
demi sekadar rencana dan ambisi kekuasaan. Seperti yang ditunjukkan oleh
Soekarno maupun Soeharto.
Kini, yang harus
kita tanyakan adalah, keresahan apa yang harus kita miliki? Dan apa kecintaan
terhadap rakyat dan bangsa itu?
*Dosen Ilmu
Politik Universitas Siliwangi
Comments
Post a Comment