Skip to main content

Carut Marut Tempat Parkir UM: Mulai Sempitnya Lahan hingga Uang Parkir buat Jajan


      Saat ini, transportasi sudah menjadi kebutuhan primer. Berbagai macam alat transportasi diciptakan untuk memenuhi kebutuhan manusia berpindah dari satu lokasi ke lokasi lain, apalagi jika menempuh jarak yang cukup jauh. Salah satu alat transportasi paling populer di Indonesia adalah motor. Motor sangat populer di kalangan pelajar dan mahasiswa. Setiap fakultas memiliki tempat parkir sendiri-sendiri, namun tidak mewajibkan mahasiswanya untuk memarkirkan motor berdasarkan fakultas masing-masing. Anehnya, meskipun dalam satu fakultas, berbeda tempat parkir juga berbeda sistem pengelolaannya. Hal ini dapat kita lihat di tempat parkir Fakultas Sastra (FS). Seharusnya hanya motor yang dikenai biaya parkir, tapi sepeda pun dikenai biaya parkir. Meskipun jumlah sepeda tidak seberapa dibandingkan motor, tetapi tetap saja hal ini menyalahi aturan. 

     Menurut keterangan Soleh, petugas parkir di gedung Q3, sepeda memang dikenakan biaya. Namun, hal tersebut bersifat tidak wajib ketika mahasiswa sedang tidak ada uang. “Asalkan tidak berturut-turut,” ungkapnya. Tarif untuk motor dan sepeda sama, yaitu Rp 500,00. Sepeda memiliki tempat parkir sendiri dalam area parkir motor. Pemasukan yang diperoleh dari parkir motor disetorkan langsung ke dari parkir motor disetorkan langsung ke pusat sedangkan pemasukan yang diperoleh dari sepeda digunakan untuk membeli kopi, gorengan, dan makan, kalau cukup. ”Nggak tentu kalau pendapatan dari (parkir) sepeda mas, kadang cuma Rp 4.000,00 per hari,” aku Soleh. Beliau juga menambahkan bahwa dirinya tidak mendapatkan uang makan dari UM, padahal dia bekerja mulai pagi hingga pukul 14.00 WIB. Saya tidak dapat jatah uang makan dari UM mas, padahal saya kerja sampai jam 2 (siang),” tambah Soleh. Karena itulah, para pengguna sepeda yang seharusnya tidak perlu membayar biaya parkir terkena imbasnya. 

     Keterangan tersebut didukung oleh Adi, petugas tempat parkir FS yang terletak di depan masjid UM. “Makan diperoleh dengan usaha sendiri-sendiri entah itu harus membeli ataupun membawa dari rumah,” tuturnya.Namun anehnya, sepeda yang parkir di depan masjid UM tidak dikenakan biaya sama sekali. ”Pendapatan yang diperoleh dari parkir motor tidak disetorkan ke pusat melainkan dinikmati oleh petugas parkir sendiri,” tambahnya. Adi menjelaskan jika pendapatan dari setiap gerbang UM-lah yang wajib disetorkan sedangkan pendapatan yang diperoleh dari tempat parkir memang untuk petugas di tempat parkir sendiri. Pendapatan yang diperoleh relatif besar, sekitar Rp 100.000,00 sekali jaga. Sementara penjagaan di bagi dalam dua shift. Lalu, kepada siapakah sebenarnya uang hasil parkir motor disetorkan jika petugas parkir harus mencari ‘rembesan’ agar bisa tetap makan? Ditambah lagi, UM hanya menerima pemasukan dari gerbang-gerbang utama yaitu Ambarawa, Semarang, dan Surabaya. 

      Lain di tempat parkir FS, lain pula di tempat parkir Fakultas Teknik (FT). Di FT, sepeda disamakan dengan motor, wajib membayar dan memperoleh karcis. Hal ini bertujuan agar sepeda diparkirkan dengan teratur dan ada yang bertanggung jawab jika terjadi kehilangan. Kalau pun terjadi kehilangan, penggantian dilakukan oleh pusat, yaitu Komandan Satpam dan Kasubag Rumah Tangga. Penggantian diberikan setelah dilakukan pencarian terhadap sepeda yang hilang. Meskipun penggantian tidak dilakukan secara penuh. Mengenai nominal dana uang penggantian Supriyono selaku petugas parkir Fakultas Teknik tidak mengetahui. Pendapatan yang diperoleh dari sepeda juga dikelola menjadi satu dengan pendapatan motor dan disetorkan ke rekening rektor. 

     Supriyono juga dipusingkan dengan meningkatnya volume motor yang tidak diimbangi dengan luasnya lahan parkir. “Dengan meningkatnya volume motor, maka meningkat pula risiko terjadinya kehilangan motor sehingga diperlukan penjagaan dan tenaga ekstra dari petugas parkir yang saat ini hanya bejumlah tiga orang,” tuturnya. Dia berharap adanya tempat parkir bertingkat dan pertambahan tenaga parkir untuk memudahkan akses bagi mahasiswa sekaligus memudahkan petugas parkir melakukan penjagaan. 
     Bukan hanya motor dan sepeda yang bisa dititipkan, petugas parkir juga membuka penitipan helm. Di FS gedung Q3, pemasukan yang diperoleh dari penitipan helm ikut disetorkan ke pusat sedangkan di tempat parkir depan masjid UM, baik pemasukan dari helm maupun motor dikelola sendiri oleh petugas parkir. Di tempat parkir FT, uang penitipan helm dikelola oleh petugas parkir untuk sekadar membeli jajanan pengganjal perut yang lapar.(yrz/mai//yna)

Comments

  1. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  2. Seharusnya dana pengelolaan parkir dianggarkan dari biaya spp/ukt, karna parkir adalah bagian dari fasilitas yang harus diberikan secara prima oleh universitas, dan pantas menyandang gelar universitas terbaik, sepele tapi menyusahkan... sistemnya sudah uang kuliah tinggal (ukt), tapi parkir masih bayar...

    ReplyDelete
  3. Rektorat harus bersikap, jangan diam saja! Apakah praktek menghisap mahasiswa seperti ini dibiarkan tanpa ada tindakan dari Rektorat? Apa Rektorat sudah lupa dengan tujuan mulia pendidikan/pengajaran? Bukankah cara-cara menghisap mahasiswa seperti itu tidak dibenarkan dalam dunia manapun? Apalagi dilakukan di dalam kampus? Kami kecewa dengan Rektorat jika melakukan pembiaran terhadap hal ini....

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Pemira FIS Ternodai

Indikasi Pemalsuan Syarat Pencalonan di HMJ Geografi Rabu (25/11) – Ketua Komisi Pemilihan Fakultas Ilmu Sosial (KPFIS), Junaidi, mengatakan   bahwa terjadi beberapa permasalahan pada serangkaian kegiatan Pemilihan Raya (Pemira) FIS. Salah satunya adalah i ndikasi pemanipulasian sertifikat ospek jurusan oleh Himpunan Mahasiswa Jurusan Geografi (HMJ Volcano) untuk wakil calon nomor 1, Rezra. ”Ada ketidakterimaan dari beberapa mahasiswa mengenai salah satu calon, gara-gara ada salah satu calon yang persyaratanya nggak tepat, menurut mereka. Contohnya sertifikat mbak, menurut sang pelapor itu palsu”, ujar Subur selaku Ketua KPFIS.

LPJ Ajarkan Korupsi pada Mahasiswa*

Jika kita membicarakan tentang korupsi memang tidak akan pernah ada habisnya. Dari siapa yang bertanggung jawab sampai bagaimana korupsi itu selau meracuni moral bangsa Indonesia. Banyaknya koruptor juga tidak lepas dari peran pendidikan yang ada pada jenjang sekolah ataupun pendidikan yang tertanam pada keluarga sejak kecil. Kebiasaan berbohong yang di ajarkan oleh para orang tua memicu salah satu bibit-bibit koruptor. Contohnya seperti ini, ada orang tua bilang ke anaknya “nak nanti kalau ada yang mencari mama, bilang yaa mama sedang keluar” padahal si mama sedang asyik-asyik menonton TV di dalam rumah. Secara tidak langsung sang mama mengajarkan berbohong pada si anak. Ketika anak terdidik untuk tidak jujur, maka kebiasaan ini akan membentuk karakternya, apalagi tanpa adanya landasan agama yang jelas.