Dilema Pejuang S.Pd sebagai Mahasiswa yang Bukan
Manusia
Oleh Ugik Endarto*
Picture by: Fahrybany.wordpress
Paradigma tentang
bagaimana seharusnya menjadi guru yang ideal banyak diajarkan di bangku kuliah
dengan mengonsumsi vitamin semacam materi assessment, kajian kurikulum,
metode pembelajaran, dan lain-lain. Hal ini sudah menjadi santapan wajib bagi
mahasiswa para pejuang S.Pd, sebagai bagian dari proses pembentukan guru yang
baik.
Kriteria guru yang baik
acap kali diutarakan oleh para dosen dalam perkuliahan. Namun, ada beberapa dosen
yang berusaha memberikan sebuah diskursus tentang kewajiban pejuang S.Pd supaya
menjadi subjek yang disiplin, memiliki sifat yang dingin, tidak terlibat dalam
organisasi-organisasi non akademik, dan tidak seharusnya melakukan
tindakan-tindakan yang revolusioner serta kritis.
Sebagian masyarakat awam
hingga para akademisi juga masih memahami bahwa kuliah bertujuan untuk mencetak
tenaga kerja dan kampus merupakan tempat untuk mempersiapkan kebutuhan di dunia
tersebut. “Kuliah iku yo seng temenan, golek IPK sing duwur ndang oleh
ijazah gawe kerjo, gausah aneh-aneh.”. Dogma semacam ini sama saja dengan
mendukung kampus sebagai alat kapitalisme dengan mekanisme pasarnya. Lalu
menggeser esensi dari pendidikan yakni untuk mengembalikan harkat dan martabat
manusia.
Picture by:mamansuratman.wordpress
Kompetensi yang
seharusnya dimiliki seorang pejuang S.Pd seakan-akan menjadi sebuah dosa ketika
bertentangan dengan apa yang diharapakan dosen. Mereka berpikir demikian karena
pengalaman dan profesionalitas di dunia pendidikan yang sudah tidak diragukan
lagi. Akan tetapi apakah mereka memahami, bahwa mereka barangkali tidak
selamanya benar? Belum tentu.
Mahasiswa pejuang S.Pd
harus benar-benar mengimani dan menjalankan kurikulum yang berlaku pada sistem
pendidikan tertentu. Dengan praktik ancaman dan otoritarian, seorang dosen
berhasil menjadikan mahasiswa pejuang S.Pd sebagai subjek yang jinak. Para
pejuang ini harus memiliki kepatuhan penuh pada dosen dan kampus karena yang
diam adalah “yang terdidik”.
Hal ini merupakan hasil
konstruksi sosial melalui objektifikasi antara pendidik dengan pejuang S.Pd
yang menganggap bahwa mahasiswa sebagai sebuah bejana kosong. Proses demikian,
mengakibatkan mahasiswa tidak berdaya dan terbenam dalam “kebudayaan bisu”.
Kebudayaan bisu yang terstruktur akan menjadi sebuah siklus yang stagnan pada
generasi-generasi berikutnya. Hingga menjadi sebuah tradisi dan role
expectation yang mengkristal disetiap paradigma serta bersarang diotak
setiap pejuang S.Pd. Kelak mereka akan beranggapan bahwa sikap pasif, apatis,
dan berjalan lurus adalah hal yang baik daripada menjadi pribadi yang menuruti
hati nurani untuk melakukan sebuah aksi perubahan diluar konteks pendidikan.
Picture by: timurangin.com
Memang pejuang S.Pd
harus terus belajar untuk memperbaiki Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP),
memahami kalender pendidikan, dan mengimplementasikan keinginan kurikulum.
Namun, mahasiswa pejuang S.Pd juga mempunyai kewajiban untuk bertindak sesuai
hati nurani, seperti terlibat dalam aksi diluar pendidikan, mengkritisi sistem
pemerintahan yang tidak adil, atau mewujudkan pikiran kritis menjadi praksis.
Esensi pendidikan adalah
membantu seorang manusia menemukan arti sebuah kebenaran melalui intuisi dan
kemampuan berpikir, bukan lagi mengikuti arti kebenaran yang diinginkan oleh
kalangan tertentu. Pejuang S.Pd perlu untuk keluar dari tempurung kebudayaan
bisu. Apabila kebudayaan bisu tetap diamalkan, akan mendustai hakikat
keberadaan, seperti apa yang dikatakan Descartes, ”Cogito ergo sum” yang
berarti aku berpikir maka aku ada. Maka apabila mahasiswa sebagai manusia tidak
dapat memerdekakan pikiran dan tindakannya sendiri, timbulah pertanyaan,
apakah kita masih menjadi manusia?
*Penulis adalah pegiat LPM Siar UKMP UM
Penulis baca buku "Pendidikan Sebagai Praktek Pembebasan" ya karya Freire, jangan justifikasi mahasiswa dari satu arah bahwa tidak semua mahasiswa seperti itu, dan untuk judulnya juga secara harfiah mahasiswa itu manusia, yang mempunyai akal sehat dan membedakannya dengan binatang, tolong di koreksi lagi, apakah anda menyamakan mahasiswa dengan binatang karena bukan manusia, mohon dalam memberikan judul tidak multitafsir karena nanti akan mengurangi esensi dari berita yang disampaikan, terima kasih HIDUP MAHASISWA!!!
ReplyDeleteThanks and that i have a tremendous offer you: Whole House Remodel Cost house renovation ideas
ReplyDelete