Robiatul Adawiyah*
Tak
seorang pun mendengar teriakanku, bisikanku, dan ucapanku. Daun-daun, angin,
dan kayu kering bersemayam dalam tubuhku. Bukan hanya benda terlihat, yang tak
terlihat pun menguasai tubuhku. Para kuman, jamur, dan bakteri berkembang biak,
lalu merajalela, dan siap menyebarkan virus penyakit. Aku merasa sedih karena
tidak ada yang memerhatikanku, warnaku yang dulunya bening jernih kini telah
berubah menjadi hijau kekung-kuningan, terkontaminasi dengan berbagai benda dan
bakteri. Aku merasa heran kepada mereka yang setiap hari lewat di depan mukaku,
tidakkah merasa jijik dan terganggu? Apa mereka tidak mencium bau tidak sedap
dari tubuhku? Sungguh ironis tak satu pun dari mereka yang peduli, mereka acuh
seolah tak tahu.
Suatu
hari hujan turun dan airnya memenuhi kolamku, ia berkata “Kau sangat kotor dan
menjijikkan, terlalu banyak kuman di dalam tubuhmu, apa kau tidak pernah
dibersihkan?”
“Tidak
ada yang peduli padaku, tidak ada yang mau melihatku, dan tidak ada yang
berniat mengurasku, sungguh ironis hidupku ini,” ucapku pada hujan.
“Apa
mereka tidak sadar tubuhmu yang kotor ini bisa membawa penyakit, aku lihat
begitu banyak manusia yang lalu-lalang dihadapanmu, apa mereka tidak mempunyai
inisiatif untuk membersihkan tubuhmu? Bahkan ada beberapa orang yang makan di
depanmu, apa kereka tidak jijik? Kalau aku pastinya sudah muntah,” tutur hujan.
“Entahlah
hujan, aku lelah berharap, telah bertahun-tahun aku terabaikan, tidak ada yang
peduli, tidak ada yang menanggapi, sudah bertahun-tahun yang lalu sejak aku
terakhir kali dibersihkan,” tuturku sedih.
“Apa
mereka tidak sadar bila musim hujan seperti ini, air dari tubuhmu akan meluap
ke daratan dan bisa mengundang penyakit?”
“Hahahaha,”
aku tertawa getir.
“Kenapa
kau malah tertawa? Apa kau senang jika mereka yang ada di sekitarmu terserang
bermacam-macam penyakit?,” hujan bingung.
“Bukan
begitu, asal kau tahu saja hujan, selama ini banyak sekali dari mereka yang
secara sengaja mengambil air dari dalam tubuhku kemudian menyiramkannya ke
teman mereka yang sedang berulang tahun, mereka melakukan itu untuk
bersenang-senang, tapi mereka tidak sadar akibatnya bisa sangat fatal, untung
saja tidak ada yang menjadi korban keganasan para kuman penghuni tubuhku. Jika
mereka sedang bunting maka bisa saja terserang infeksi kulit, terjangkit virus leptospirosis,
penyakit demam berdarah, hepatitis A, dan penyakit berbahaya lainnya,”
“Sungguh
mereka itu begitu ceroboh, katanya mereka itu pandai, cerdas, berilmu tinggi,
tapi kenapa mereka tidak menyadari perbuatan mereka itu?”
“Entahlah
aku juga terkadang menanyakan kepintaran mereka, bukan hanya aku saja yang
kotor, kau bisa lihat lingkungan sekitar mereka juga kotor sekali, padahal
setiap hari mereka di sana dan menghuni tempat itu,”
“Ia
kau benar sekali kolam, mereka jorok sekali ya, aku bingung, sebenarnya siapa
yang paling bertanggungjawab?”
“Aku
juga tidak mengerti, aku juga bingung,”
“Siapa
yang sebenarnya bertanggungjawab membersihkan tubuhmu?”
“Aku
juga tidak tahu, aku bingung. Mereka tidak peduli, petugas kebersihan juga
tidak pernah menyambangiku, satpam apalagi mereka sibuk mengamankan kampus,
para petinggi mana ada waktu mengurusi masalah kecil seperti ini mereka sibuk
dengan tugas mereka masing-masing. Andai aku bisa membersihkan tubuhku akan ku
bersihkan sendiri, tapi sayang itu juga tidak bisa aku lakukan,”
“Jangan
bersedih kawan, mungkin suatu hari akan ada yang peduli dan membuatmu bersih
kembali,”
“Ya
semoga saja begitu,”
“Kalau
aku jadi mereka pasti malu kawan, kampus ini salah satu kampus negeri yang
terkenal, namun memiliki kolam kotor dan bau, apakah mereka tidak malu kalau
ada yang berkunjung?,”
Sejenak
aku memikirkan kembali perkataan hujan. Aku memang malu dengan keadaanku, akan
tetapi apakah mereka merasakan hal yang sama juga?. Seolah mengerti apa yang
aku pikirkan, hujan hanya memandang iba padaku lalu pergi dengan menyisakan
rintiknya.
*Penulis
adalah pegiat LPM Siar UKMP UM
Comments
Post a Comment