Skip to main content

Pemira UM 2016: Adakah Kepentingan Politik di Balik Perpanjangan Waktu?

Massa ingin memasuki gedung tuntut kejelasan proses mediasi Pemira. Ugik/SIAR

Kamis (1/12) berlangsung  hajat besar di Universitas Negeri Malang (UM). Pemilu Raya (Pemira) tingkat Universitas maupun tingkat Fakultas serentak menggunakan e-vote yang dilaksanakan mulai pukul 08.00 WIB hingga ditutup pada pukul 16.00 WIB. Sepanjang sejarah Pemira UM, tahun ini adalah pertama kalinya e-vote digunakan. 

Pengalaman yang minim tentang e-vote menimbulkan masalah baru berupa penumpukan massa yang tidak terkendali saat proses pemilihan.  Risma, mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial (FIS) menuturkan bahwa dia tidak jadi melakukan pemilihan dikarenakan antrian panjang. “Saya sudah balik 2 kali, yang pertama siang dan kembali lagi pukul 15.45 WIB tapi masih panjang saja, akhirnya saya lebih memilih pulang,” tuturnya.

Masalah tersebut juga terjadi di Fakultas Ekonomi (FE),  “Pada saat mendekati pukul  16.00 WIB, mahasiswa yang mengantri masih panjang,” cerita Robby, Ketua Dewan Mahasiswa Fakultas Ekonomi (DMFE). Berdasarkan informasi dari grup e-vote yang digunakan untuk berkoordinasi dengan KPU Pusat, DPM, DMF, WR 3 dan Kabag Kemahasiswaan, Robby menuturkan bahwa fakultas-fakultas lain juga mengalami antrian panjang padahal batas waktu pemilihan segera ditutup.

Permasalahan tersebut menimbulkan kesepakatan dari KPU Pusat UM, DPM, DMF untuk melakukan musyawarah di Gedung Kuliah Bersama (GKB). “DPM berinisiatif mengumpulkan perwakilan dari semua fakultas untuk menceritakan keadaan di fakultasnya dan mencari jalan keluar,” kata Robby. 

Hasil dari musyawarah tersebut adalah adanya kata sepakat untuk menambah waktu pemilihan sampai pukul 18.00 WIB. Namun, jika tempat Pemilihan Suara (TPS) sudah sepi sebelum waktu tersebut  boleh ditutup. “Akan tetapi jika sistem pemilihan online masih berjalan meski TPS sudah tutup, sistem akan dimatikan tetap jam 6 itu oleh tim pengembang langsung dari PTIK,” lanjut Robby. 

Ketua KPU FE yang diwawancara bersamaan dengan Robby hingga saat berita ini ditulis belum menyumbang  penjelasan apapun mengenai pernyataan tersebut. Dua orang KPU Pusat yang ditemui di kesekretariatan DMFE juga menolak memberikan suara terkait perpanjangan waktu tanpa pemberitahuan umum ini.  

Perpanjangan waktu tersebut menimbulkan pertanyaan baru, “ Kenapa diperpanjang kan peraturan awal dari KPU pusat hanya sampai jam 4 sore, jangan-jangan ada kepentingan politik,” ungkap Ana, mahasiswi jurusan Akuntansi yang mempertanyakan adanya perpanjangan waktu. 

Pertanyaan seputar perpanjangan waktu tersebut tidak berhenti begitu saja, semakin memanas hingga di fakultas Ekonomi sempat ada mediasi dari pihak yang mendukung dan menentang perpanjangan waktu tersebut. Robby menyatakan siap untuk mengumpulkan saksi yang menguatkan perpanjangan waktu tidak mengandung unsur politik meski dia mengaku kesaksian yang terkumpul nantinya tidak punya kekuatan hukum.

Ternyata, isu perpanjangan waktu tersebut juga mencuat menjadi permasalahan yang menyerang  Pemira tingkat universitas. Tommy, Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu)tingkat universitas mengaku bahwa ia juga didatangi dengan kasar oleh beberapa mahasiswa yang menuntut perpanjangan waktu tersebut dibatalkan. 

Malam hari, pukul 21.00 saat terjadi mediasi tingkat universitas di gedung A3 ada seorang mahasiswa yang melayangkan gugatan kepada  KPU UM  agar suara yang masuk setelah pukul 16.00 tidak berlaku. “KPU tidak memiliki intervensi, tidak ada pemberi tahuan dan tindakan dari KPU tidak berdasar hukum,” katanya dengan berkobar saat mengajukan tuntutan. 

Akhirnya, KPU UM menyetujui tuntutan tersebut dan menyatakan bahwa suara yang masuk setelah pukul 16.00 dinyatakan tidak sah. Hingga berita ini ditulis, Ketua KPU Pusat pun masih belum bisa ditemui untuk konfirmasi lebih lanjut atas pengambilan tindakan perpanjangan waktu yang menimbulkan kehebohan tersebut. (tri/ugk//eva)

Comments

Popular posts from this blog

Pemira FIS Ternodai

Indikasi Pemalsuan Syarat Pencalonan di HMJ Geografi Rabu (25/11) – Ketua Komisi Pemilihan Fakultas Ilmu Sosial (KPFIS), Junaidi, mengatakan   bahwa terjadi beberapa permasalahan pada serangkaian kegiatan Pemilihan Raya (Pemira) FIS. Salah satunya adalah i ndikasi pemanipulasian sertifikat ospek jurusan oleh Himpunan Mahasiswa Jurusan Geografi (HMJ Volcano) untuk wakil calon nomor 1, Rezra. ”Ada ketidakterimaan dari beberapa mahasiswa mengenai salah satu calon, gara-gara ada salah satu calon yang persyaratanya nggak tepat, menurut mereka. Contohnya sertifikat mbak, menurut sang pelapor itu palsu”, ujar Subur selaku Ketua KPFIS.

LPJ Ajarkan Korupsi pada Mahasiswa*

Jika kita membicarakan tentang korupsi memang tidak akan pernah ada habisnya. Dari siapa yang bertanggung jawab sampai bagaimana korupsi itu selau meracuni moral bangsa Indonesia. Banyaknya koruptor juga tidak lepas dari peran pendidikan yang ada pada jenjang sekolah ataupun pendidikan yang tertanam pada keluarga sejak kecil. Kebiasaan berbohong yang di ajarkan oleh para orang tua memicu salah satu bibit-bibit koruptor. Contohnya seperti ini, ada orang tua bilang ke anaknya “nak nanti kalau ada yang mencari mama, bilang yaa mama sedang keluar” padahal si mama sedang asyik-asyik menonton TV di dalam rumah. Secara tidak langsung sang mama mengajarkan berbohong pada si anak. Ketika anak terdidik untuk tidak jujur, maka kebiasaan ini akan membentuk karakternya, apalagi tanpa adanya landasan agama yang jelas.