Gambar: bumirakyat.wordpress.com |
*Fajar Dwi Ariffandhi
Momentum Pemilu Raya
(Pemira) bisa menjadi sarana untuk belajar berdemokrasi. Lebih dari itu, demokrasi
tentu tak sekadar agenda tahunan yang bersifat seremonial. Ada sebuah pandangan
hidup yang menjunjung tinggi persamaan hak dan kewajiban yang patut
diperjuangkan dalam demokrasi yaitu kedaulatan. Pemira bisa jadi hanya sebagian
kecil contoh bagaimana mahasiswa dapat berdemokrasi dalam minatur negara yang
kita sebut universitas.
Dari tahun ke tahun,
Pemira hanya menjadi bukti keberhasilan program Normalisasi Kehidupan
Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) menghipnotis mahasiswa untuk
berkutat di dalam kampus dan saling adu jotos sesama mahasiswa. Termasuk di
kampus UM, The Learning University. Kalau
boleh meyakini, mayoritas para calon guru ini bukan tidak tahu bagaimana cara
berdemokrasi. Mata kuliah Pancasila dan Kewarganegaraan adalah mata kuliah
wajib yang harus ditempuh. Belum lagi dongeng-dongeng tentang pergerakan
mahasiswa yang banyak tertulis di buku dan rajin diceritakan para senior di
meja warung kopi. Dari situ sedikit banyak sudah mengajarkan kita bagaimana itu
demokrasi.
Lewat Undang-Undang
Dasar kita belajar teori kedaulatan: “Dari, Oleh dan Untuk.” Kedaulatan rakyat
berarti “Dari, Oleh, dan Untuk Rakyat.” Jika benar demokrasi di kampus adalah
implementasi demokrasi sebenarnya yang disarikan dari dasar konstitusi kita,
maka tidak salah jika kita menuntut kedaulatan mahasiswa: “Dari, Oleh dan Untuk
Mahasiswa.” Sekalipun penginterpretasian mahasiswa dan rakyat tidak bisa dan tidak
boleh dipisahkan. Mahasiswa adalah bagian dari rakyat.
Selanjutnya, apakah
kita sudah benar-benar berdaulat? Di lain sisi, konstruksi mindset “orang tua dan anak” memang sudah mengakar di kampus ini. Secara institusional kita tidak benar-benar
menyadari kapan dan dimana paham ini digunakan. Di kelas, boleh saja kita
meyakini diri sebagai murid yang sepatutnya menghormati gurunya. Mengingat
sebagian besar mahasiswa UM nantinya akan menjadi guru -minimal saat praktik mengajar
di akhir masa kuliah. Akan tetapi, tentu saja proses dialektika yang terjadi
dalam kelas tidak akan pernah maksimal.
Setelah kita
menginsyafi bahwa ternyata kita tidak benar-benar berdaulat sekalipun hanya
dalam proses belajar mengajar. Di luar itu, ternyata mahasiswa UM masih jauh
dari kata daulat. Sekali lagi, Pemira hanya secuil contoh demokrasi, dan itu pun
cacat orientasi. Salah satu hasil Pemira adalah terpilihnya Ketua Badan
Eksekutif Mahasiswa (BEM). Entah bagaimana awal mulanya, penyematan nama
Presiden Mahasiswa (Presma) perlahan luntur dan diganti menjadi “ketua.” Secara
administratif pun demikian.
Keberadaan BEM selalu
dipertanyakan kebermanfaatannya di kalangan mahasiswa. Ketika ada kebijakan
kampus yang berbau kontroversial semisal yang pernah terjadi: naiknya biaya
retribusi parkir dari 500 rupiah menjadi 1000 rupiah. Mayoritas mahasiswa tidak
akan seketika memprotes birokrat kampus. Secara spontan mereka akan menuntut
perkara tersebut ke teman-teman mereka yang duduk di bagian eksekutif. Itu
sedikit hal mengenai pemahaman mahasiswa awam terhadap tugas pokok dan fungsi
BEM.
Dalam teori gerakan,
ketika individu mulai direnggut kedaulatannya maka mereka akan melawan. Lalu
bagaimana jika kita tidak sadar bahwa sebenarnya kedaulatan kita secara
perlahan dikikis dan seketika habis. BEM, organisasi mahasiswa yang sudah mapan
secara struktural ternyata tidak mempunyai kedaulatan bahkan untuk sekadar
menjadi badan eksekutif di kampus. Jangankan kebijakan kampus yang menyangkut
hajat berakademis semua warga kampus. Selama ini, BEM termasuk semua ormawa
yang ada di UM dalam berorganisasi harus
tunduk dan patuh terhadap Surat Keputusan (SK) Rektor yang dalam pembentukan
dan penetapannya masih perlu dipertanyakan: dimana suara mahasiswa?
Akhirnya, kedaulatan
mahasiswa akan habis dengan sendirinya. Kebijakan-kebijakan yang dibuat hanya
akan semakin menelanjangi hak-hak mahasiswa. Mahasiswa secara individu maupun
dalam bentuk organisasi yang terstruktur pun tidak mempunyai kedaulatan.
Mahasiswa hanya akan menjadi buruh pekerja kegiatan-kegiatan yang diadakan
kampus dan tidak mempunyai hak penuh dalam prosesnya berdemokrasi. Mahasiswa
hanya menjadi penerima tamu, penyedia konsumsi, pengantar surat, tanpa tahu
substansi kegiatan yang mereka kerjakan. Satu-satunya yang bisa dijanjikan
kampus adalah sertifikat.
*Pegiat Lembaga Pers Mahasiswa SIAR UKMP UM
Mantap. Kita Benar adanya hidup di lingkungan, suatu entitas yg tercuil-cuil dalam amplop atau semacam Kertas. iya, Hanya dari, untuk & demi Kertas. Memang setelah Revolusi tak ada lagi, yang ada hanya Akademisi2 yg berpuisi di ujung menara gading
ReplyDeleteMantap
ReplyDelete