BEBAS DALAM ANGAN
Oleh: Muhammad Nur Fahmi
Anjing-anjing
mulai melolong dipenjuru negeri
Mencari mangsa tuk
puaskan nafsu dan birahi
Tiap hari
mengintai dari sudut kota dan pelosok desa
Mengamati buruan
yang pas tuk dinikmati
Dihadapan kelinci
beringas bak penguasa negeri
Bagai tak kenal
takut apalagi mati
Menatap dengan
penuh arogansi
Menganggap dunia
bagai milik sendiri
Dihadapan macan si
anjing menatap gamang
Sekejap suasana
jadi suram
Semua bayangan
buyar
Berganti
kegelisahan
Sekejap itu pula
anjing teringat adanya Tuhan
Melihat macan
tertidur pulas dalam buaian
Perlahan mendekat
dalam diam
Mendekat seraya
mengancam
Terus mendekat
menunggu waktu tuk menerkam
1998 dijadikan tonggak baru
peradaban di ibu pertiwi dan ekspresi merupakan babak baru tuk tunjukkan jati diri. Kebebasan
berekspresi bagai hadiah atas perjuangan panjang melawan tirani. Mahasiswa
sebagai aktor pembawa kebebasan berekspresi menjadi pihak yang paling gembira
atas hadiah yang telah “diberikan sembari berharap babak baru akan lebih
gemilang.
Setelah perjuangan yang
panjang mengapa
kita menyiakan
apa yang telah kita dapatkan? Bukankah kita telah mendapat kebebasan yang
selama ini kita impikan? Kita bebas mengkritik segala bentuk kebohongan dan
kemunafikan. Kita juga bebas bersuara lantang. Bukankah itu yang selalu kita
damba-dambakan? Namun, mengapa kini kita hanya bisa
menatap dalam diam? Apakah sudah tak ada lagi keberanian dalam diri? Ataukah Idealisme sudah semakin tereduksi?
Hanya didorong janji-janji yang diberikan oleh struktur sosial,
budaya dan ekonomi. Dengan gelar kesarjanaannya, kesempatan-kesempatan ekonomis, karier, status
sosial dan berbagai jenis kehormatan lainnya terbuka secara lebih luas bagi
para mahasiswa. Di jaman moderen yang adalah jaman kemenangan modal ini, jelas
terlihat bahwa mahasiswa pun telah mengabdi padanya.
Hadiah kebebasan berekspresi
sebenarnya bagaikan politik etis yang di gagas Van De Venter di era kolonial untuk memperkuat hegemoni imperialisme di Indonesia. Pada
kasus setelah era reformasi kebebasan berekspresi dijadikan sebagai alat untuk
mereduksi keinginan mahasiswa untuk bersuara. Kebebasan untuk berekspresi
menjadikan mahasiswa tak lagi punya keinginan untuk mengungkapkan pendapatnya.
Begitu pula yang terjadi pada tataran pers
mahasiswa.
Mahasiswa yang diakali
pers mahasiswa (persma) terjebak pada level wacana. Wacana itu penting tetapi
yang lebih penting bagaimana mengimplementasikannya pada tataran kehidupan yang lebih
nyata. Paling tidak dari gerakan itu ada interaksi positif dan hipotesis yang
bisa ditawarkan sehingga akhirnya melahirkan sintesis baru dari perkembangan
dan benturan yang terjadi. Jangan sampai persma hanya terjebak pada intelectual production saja, tetapi
juga mampu bekerja pada tataran praksis. Karena pers mahasiswa merupakan defender of people (benteng rakyat).
Apabila kemarin
kita dibenturkan lewat benturan fisik dan militer. Saat ini birokrasi
pemerintah atau bahkan kampus tak lagi membenturkan diri pada hal semacam itu lagi.
Saat ini pihak birokrasi mencoba membuai kita melalui ideologis dan ekonomi.
Comments
Post a Comment