Oleh:
Muhammad Hasbi Al Haikal*
Suatu
malam seorang teman bertanya kepada saya, “Ketika kampus kehilangan uang 500
perak karena parkir berbayarnya kamu perjuangkan untuk gratis, maka harus ada
sumber pendapatan kampus lain yang harus kamu tawarkan, begitulah teori ekonomi.”
Mendengar hal tersebut, secara pribadi saya bingung dengan dua hal. Pertama, saya
tidak paham teori ekonomi yang dimaksud dan mengapa harus diterapkan dalam
kampus yang notabene merupakan bidang pendidikan? Kedua, mengapa timbul suatu pemikiran
bahwa kampus adalah perusahaan yang dalam oprasionalnya hanya berorientasi pada
untung rugi demi gerak roda perjalanan kampus itu. Kemudian, pada suatu diskusi
di beberapa tempat lain, saya juga menemui banyak mahasiswa yang berfikiran
sama soal parkir, gedung pertemuan, dan usaha mandiri kampus lainnya yang
diperumpamakan sebagai suatu sistem berupa perusahaan.
Kesimpulan
awal yang terbangun dalam hati saya menyatakan bahwa dinamika kampus telah memunculkan
pola pikir mahasiswa yang bias terkait hak dan kewajibannya dalam berperan
serta di dalam kampus. Saya tidak akan menelisik lebih jauh tentang ada apa di
balik parkir berbayar maupun birokrasi kampus ini. Namun, ada satu pertanyaan
kecil yang mengusik dalam hati saya, yaitu tentang peran mahasiswa saat ini.
Jadi,
peran mahasiswa sebagai agent of change yang seperti apakah
yang terbangun sekarang, ketika perubahan untuk diri sendiri sudah lalai dipikirkan?
Lalai dilakukan? Peran mahasiswa sebagai kontrol sosial seperti apakah yang
terbangun ketika mahasiswa sudah abai dengan moralnya sendiri, terlalu asik
dengan suguhan gemerlap kota besar, dan bangga atas status sosial “elit”
sebagai mahasiswa? Berapa banyak mahasiswi di kampus ini yang sudah tidak
perawan sebelum pernikahan? Berapa banyak mahasiswa di kampus ini yang
menyalahgunakan Napza dan mengkonsumsi minuman berakohol?
Lebih
jauh lagi, mahasiswa sebagai iront stock diharapkan mampu
memegang kendali Indonesia di masa depan. Apalagi, 29 tahun lagi Indonesia
mencapai usia satu abad. Rentang usia kita sebagai mahasiswa saat inilah yang
akan mengendalikan masa tersebut. Namun, terlalu jauh rasanya, ketika kita
bicara pemerintahan atau bahkan kondisi sosial ekonomi politik dunia yang akan
kita “kendalikan” nantinya, ketika masih menjadi mahasiswa saja masalah dalam
lingkup kecil seperti kampus kita abaikan begitu saja. Apakah mahasiswa yang
bangga menjadi apatis ini pantas sebagai generasi yang akan memegang kendali
atas Indonesia pada usia 100 tahunnya?
Film
dokumenter Soedirman Melawan agaknya bisa menyegarkan pemikiran kita tentang perjuangan
mahasiswa yang seharusnya dilakukan yaitu berani berkata tidak dan menolak
untuk hal yang salah. Selain itu, selalu insyaf akan tanggungjawabnya dalam
menuntaskan Tridharma Perguruan Tinggi merupakan kewajiban yang harus dilakukan
dengan benar dan tulus. Bukan menjadi mahasiswa yang keras mencaci pemerintah namun
lalai akan Tridharma, bukan pula menjadi mahasiswa yang mengejar penghargaan
demi kepuasan pribadi dalam bentuk indeks prestasi tinggi tapi lalai akan perannya
sebagai penggerak perubahan menuju keadaan yang lebih baik.
Menjadi
mahasiswa yang sadar dan insyaf akan peran dan tanggung jawabnya adalah hal
yang mutlak diperjuangkan mahasiswa Indonesia. Estafet perjuangan para pahlawan
tertumpu pada komponen rakyat yang memiliki idealisme dan rindu akan perubahan
untuk perbaikan. Pilihan akhirnya adalah estafet itu diambil oleh mahasiswa
atau justru dibuang dengan santai dan bangga ketika estafet perjuangan kalah
membahagiakan daripada lolos Pimnas, IPK Suma Cumlaude, dan lebih parah lagi
gemerlap kota perantauan.
Diam
adalah penghianatan ketika keburukan ada di depan mata. Bergerak untuk
perubahan atau diam dalam kemunafikan.
*Penulis
adalah Ketua Dewan Mahasiswa FIP UM 2015-2016,
Mahasiswa Jurusan Bimbingan Konseling angkatan
2013
Comments
Post a Comment