Skip to main content

Kemana setelah PKKMB?

Oleh: M. Asrofi Al-Kindi*
“There is no chain stronger than the the chain of desire.
(Tak ada penjara yang lebih kuat selain merasa tak terpenjara oleh keinginan)

Melihat keadaan mahasiswa saat ini, saya rasa tak jauh berbeda dengan film            The Matrix (1999). Di sana diceritakan, Neo adalah seorang pegawai perusahaan komputer biasa yang sesekali menyambi sebagai peretas komputer (hacker) untuk mendapat penghasilan tambahan. Dia tak pernah meminta lebih dalam kehidupannya. Hal yang paling penting adalah kebutuhan dasarnya sudah terpenuhi.

Saat berkenalan dengan Morpheus, Neo mengalami perubahan besar. Saat itu dia mengetahui bahwa dunia yang selama ini ditempatinya ternyata tak seindah bayangannya, Semua hanyalah ilusi dari komputer (dunia maya) yang memanfaatkan tubuhnya sebagai sumber tenaga, tapi memberikan kenikmatan palsu sebagai penggantinya. Dalam imajinasinya, Neo merasa dirinya hidup di dunia nyata, padahal sebenarnya dia hidup dalam tabung kecil yang di situ daya hidupnya dilucuti.
Menghadapi kegamangan Neo, Morpheus kemudian menawarkan dua pilihan,          “Pil Biru” dimana Neo akan melupakan semua kenyataan yang dia ketahui dan kembali kepada kehidupan sehari-hari, atau “Pil Merah” dimana dia akan tahu lebih banyak kenyataan yang menimpa dunianya.
Hal yang sama juga terjadi saat mahasiswa baru memasuki dunia perkuliahan. Sebagaimana Neo, awalnya kita akan membayangkan apa yang kita ketahui di sekolah dengan  keadaan kampus tak jauh berbeda. Seiring berjalannya waktu, kita akan menemukan kenyataan yang berbeda, bahwa kita terpisah jauh dari dunia nyata serta diam-diam menderita.
Apa yang bisa kita lakukan? memilih “Pil Biru” atau “Pil Merah”?
Jika kalian memilih Pil Biru, maka lupakanlah kenyataan bahwa kita terpisah dari lingkungan dan masyarakat, kalian akan bersenang-senang, menerima uang saku tiap bulannya, mengerjakan tugas dari dosen selama lima hari serta bersantai di akhir pekan dengan cara mengunjungi tempat wisata di kota ini atau pulang kembali ke pangkuan orang tua.
Namun, Jika anda memilih Pil Merah, menjadi mahasiswa adalah saat dimana kalian akan berproses, belajar melihat kenyataan yang tak diajarkan di kelas, menemukan berbagai macam pertentangan, serta penderitaan di balik tenangnya suasana kampus kita. Namun, hasilnya tak akan pernah sia-sia karena inilah yang akan jadi bekal kita di dunia nyata
Selamat datang mahasiswa baru, selamat datang di dunia baru. Setelah kalian bersenang-senang di ajang PKKMB, kini saatnya anda memilih, pil mana yang akan anda telan. Pil Biru atau Pil Merah?
Selamat memilih


*Mahasiswa S1-Pendidikan Geografi angkatan 2013.

Comments

Popular posts from this blog

Pemira FIS Ternodai

Indikasi Pemalsuan Syarat Pencalonan di HMJ Geografi Rabu (25/11) – Ketua Komisi Pemilihan Fakultas Ilmu Sosial (KPFIS), Junaidi, mengatakan   bahwa terjadi beberapa permasalahan pada serangkaian kegiatan Pemilihan Raya (Pemira) FIS. Salah satunya adalah i ndikasi pemanipulasian sertifikat ospek jurusan oleh Himpunan Mahasiswa Jurusan Geografi (HMJ Volcano) untuk wakil calon nomor 1, Rezra. ”Ada ketidakterimaan dari beberapa mahasiswa mengenai salah satu calon, gara-gara ada salah satu calon yang persyaratanya nggak tepat, menurut mereka. Contohnya sertifikat mbak, menurut sang pelapor itu palsu”, ujar Subur selaku Ketua KPFIS.

LPJ Ajarkan Korupsi pada Mahasiswa*

Jika kita membicarakan tentang korupsi memang tidak akan pernah ada habisnya. Dari siapa yang bertanggung jawab sampai bagaimana korupsi itu selau meracuni moral bangsa Indonesia. Banyaknya koruptor juga tidak lepas dari peran pendidikan yang ada pada jenjang sekolah ataupun pendidikan yang tertanam pada keluarga sejak kecil. Kebiasaan berbohong yang di ajarkan oleh para orang tua memicu salah satu bibit-bibit koruptor. Contohnya seperti ini, ada orang tua bilang ke anaknya “nak nanti kalau ada yang mencari mama, bilang yaa mama sedang keluar” padahal si mama sedang asyik-asyik menonton TV di dalam rumah. Secara tidak langsung sang mama mengajarkan berbohong pada si anak. Ketika anak terdidik untuk tidak jujur, maka kebiasaan ini akan membentuk karakternya, apalagi tanpa adanya landasan agama yang jelas.