Oleh: Ahlam
Aliatul Rahma
Pernahkah kita bertanya, setidaknya
kepada diri sendiri. Mengapa dosen seringkali memberikan tugas seenaknya
sendiri seakan-akan ia adalah pusat segala keputusan? Pernahkan kita sebagai
mahasiswa berpikir bahwa tugas tersebut seringkali kurang masuk akal dan kurang
penting? Misalnya, tugas membuat cerpen minimal 1500 kata di Jurusan Sastra, menyusun
makalah soal pengembangan sumber daya manusia minimal 20 halaman, atau tugas
semacamnya. Dosen seakan asal nyuruh
dan dengan mudahnya mengatakan apa yang dikehendaki. Pertanyaannya, apa
sebenarnya manfaat dari tugas-tugas itu? Dibuat dengan tujuan mengembangkan
nalar mahasiswa kah? Atau hanya sekadar sebagai bahan-bahan yang digunakan
dosen untuk merumuskan nilai di KHS pada akhir semester?
Lagi, tugas terparah yang pernah penulis
alami sendiri, yaitu merangkum definisi objek suatu kajian menurut sepuluh
ahli. Gila! Ini tugas apa sebenarnya? Saya yakin, sangat yakin, kita tidak akan
bisa menghafal sepuluh definisi dari sepuluh orang ahli itu sekaligus.
Barangkali tujuan dosen adalah baik, yaitu agar kita mengetahui konsep-konsep
objek kajian yang akan dibahas di kelas. Tapi tidakkah mereka kemudian berusaha
mengekstrak pemahaman mahasiswanya tentang objek kajian yang harus dicari
definisinya tersebut? Pernahkah mereka mengarahkan kepada mahasiswanya bahwa
kita sebagai kaum intelektual –atau yang masih disiapkan untuk menjadi–tidak
boleh terjebak definisi? Celakanya, tidak semua mahasiswa memahami ini.
Hal semacam inilah yang sangat
mengkhawatirkan. Definisi bukanlah segalanya. Bahkan ketika kita berusaha
memahami objek tertentu, mendefinisikan bukanlah pekerjaan yang pertama. Untuk
apa kita tahu mengenai definisi suatu hal, tetapi tidak memahami konteksnya.
Apakah dosen memberikan analogi-analogi untuk memotivasi mahasiswanya agar
dapat memahami objek tersebut? Pun ketika kita belajar filsafat, kita tidak
akan menemukan definisi yang paling pas tentang apa itu filsafat dari ahli
filsafat manapun. Kita justru akan menemukan apa itu filsafat setelah kita
belajar filsafat itu sendiri. Definisi lahir sebagai manifestasi pengalaman
kita selama bergumul dalam ruang dialektik mengenai filsafat, atau saat kita
berhasil merefleksikan diri mengenai suatu realitas. Sedangkan filsafat adalah
ibu kandung dari segala ilmu pengetahuan.
Barangkali banyak contoh lainnya. Seakan-akan
dosen mempunyai power yang maha besar
dan dapat menguasai seluruh proses belajar di kelas. Dialektika yang terjadi di
kelas, ya begitu-begitu saja. Seolah kita adalah abdi yang harus menghamba dan
patuh kepada tuannya agar diberi makan nilai yang bagus. Kita, meski tidak
setuju, hanya bisa meronta tanpa bisa mengeluarkan diri dari belenggu
penindasan tersebut. Ini sungguh celaka sebenarnya.
Kelas, sebagaimana didefinisikan
secara sosial, adalah perwujudan ruang publik dalam ranah akademik. Ruang
publik menurut Jurgen Habermas, tidak mungkin lepas dari
kepentingan-kepentingan yang dibawa oleh individu dan atau kelompok sebagai
elemen penyusunnya. Akan tetapi, menurutnya, ruang publik secara ideal haruslah
lepas dari segala kepentingan macam apapun itu. Ruang publik tidak boleh dikuasai
oleh kepentingan atau kekuasaan dominan manapun yang akan mengganggu proses
diskursus di dalam ruang publik tersebut. Kepentingan untuk menguasai ”ruang
kelas” sebagai ruang publik akan menghambat diskursus di dalam kelas yang
dihuni oleh mahasiswa. Dosen inilah yang berpotensi besar memiliki kepentingan
untuk berkuasa. Inilah awal dari dogmatisasi dosen kepada mahasiswa. Dosen
selaku subjek tunggal yang mengontrol dan menguasai pikiran, kesadaran, dan
tingkah laku mahasiswa adalah penyebab mandeknya
dinamika dalam kelas. Sederhananya, dosen adalah aktor utama dalam panggung
dialektika kelas.
Paradigma dosensentris ini
direproduksi terus menerus melalui iming-iming IPK, cepat lulus, dapat kerja
bagus, dan segera menikah. Seakan kita kuliah tujuannya sekadar itu. Mahasiswa
yang tidak mau prestasi akademiknya terhambat, mau tidak mau harus mengikuti
lingkaran arus ini. Sebagian karena terlalu pragmatis, sebagian lain karena
tidak berdaya. Sementara sisanya, berkarat dengan idealismenya. Mereka yang
masih kuat –meski berkarat– masih terus ditekan oleh jurusan atau fakultas agar
cepat lulus, agar tidak menodai citra jurusan dan fakultas yang cemerlang. Bentuk
dari iming-iming tadi juga tidak main-main, misalnya beasiswa ke luar negeri.
Apa bisa seorang mahasiswa jika tidak buru-buru lulus akan segera di-DO bisa
daftar beasiswa dengan gampang, yang syarat utamanya adalah IPK cumlaude.
Dosen meskipun idealnya menjadi
partisipan di dalam kelas, tidak mengurangi fungsinya untuk menjadi penunjuk
berjalannya diskursus. Ia sebagai tokoh yang dianggap mempunyai keilmuan yang
lebih mendalam daripada mahasiswanya, memang harus menjadi pemantik diskursus. Seorang
dosen berkewajiban untuk menjadi fasilitator berkembangnya keilmuan dan berjalannya
nalar mahasiswa. Akan tetapi, di sisi lain, Ia juga bagian dari aparatus
lembaga kampus. Kepanjangan tangan dari birokrasi kampus. Dualitas yang harus
menjadi perhatian bersama, utamanya oleh dosen sendiri. Mereka harus bijak dan
mampu menempatkan diri. Ketika di kelas, mereka dapat melebur menjadi subjek
yang setara dengan mahasiswa, sedangkan ketika di luar, ia dapat berperan
sebagai aparatus kelembagaan kampus yang urusannya di luar keilmuan, misalnya
ikut dalam koalisi mengusung calon dekan atau rektor. Eh! Intinya, sebagai apapun dia berdiri, Ia harus sadar akan tugas
utamanya, yaitu ngurusin mahasiswa.
Kembali mengenai kelas. Kelas, sebagai
ruang berlangsungnya dialektika, harus lepas dari kekuasaan dosen. Kekuasaan
ini bentuknya sangat sederhana dan barangkali sampai sekarang belum kita sadari
bersama. Label sebagai dosen, sesungguhnya mempunyai makna simbolik dari
kekuasaan tadi. Label sebagai dosen inilah yang merasuk ke dalam kesadaran kita
dan memaksa kita untuk meninggikan status sosial dosen tersebut. Sebuah awal
dari memproletarkan diri sendiri. Oleh karena itu, dosen hendaknya melepaskan cengkeraman
kekuasannya terhadap mahasiswa dan menanggalkan status ke-dosenan-nya agar
dialektika kelas berjalan ideal dan berkeadilan. Ideal dan berkeadilan di sini
memiliki arti bahwa tiada pihak-pihak yang mendominasi ruang akademik tersebut,
semua pihak yang terlibat di dalamnya memiliki akses yang sama untuk mencipta
diskursus.
Menciptakan suatu diskursus dalam
masyarakat di suatu ruang publik, dalam konteks ini adalah mahasiswa, sangat
penting. Mengapa? Agar kita tidak terjebak dogmatisasi dan pengkultusan
terhadap dosen. Agar kita berani berargumen dengan segala nalar yang kita punya
dan teori yang kita pahami. Proses dialektika berjalan melalui banyak arah.
Dosen menempatkan diri sebagai partisipan dalam ruang akademik, bukan pusat
kekuasaan. Oleh karena itu, diskursus boleh bersumber dari segala individu yang
ada dalam komunitas kelas. Akan tetapi, bagaimana diskursus itu dicerna, semua
tergantung kepada komunitas tersebut. Ini menunjukkan bahwa pada dasarnya,
diskursus itu untuk suatu masyarakat dalam kelas tersebut, bukan konsumsi
privat individu yang parsial. Justru inilah yang akan membuat komunitas
tersebut menjadi dinamis dan manusiawi.
Pendidikan tinggi, merupakan suatu
strata pendidikan yang melebihi sekolah dasar dan menengah. Pendidikan tinggi
yang dijalankan oleh pranata Perguruan Tinggi hendaknya berkomitmen untuk
menciptakan suatu generasi yang manusiawi, melek literasi, dinamis, serta
merdeka. Bukan generasi yang statis dan pragmatis. Berani melawan penindasan,
bukan generasi yang tak berdaya. Egaliterasi antara dosen dan mahasiswa harus
dijunjung kuat-kuat. Perguruan Tinggi harus merepresentasikan semangat pembebasan
untuk kemerdekaan diri serta pribadi yang mampu menjadi manusia seutuhnya.
Bukan merepresentasi aktor-aktor elit yang pragmatis dan ekonomis.
Semoga jalan kita selalu diluruskan oleh Tuhan Yang Maha
Bijak....
Penulis adalah Pegiat LPM Siar UKMP UM.
Comments
Post a Comment