Skip to main content

Media dan Kebebasan Berekspresi

*Irsyadul Halim
 
Kebebasan adalah hak semua manusia, dimana setiap individu memiliki kemampuan untuk melakukan apa yang diinginkannya. Naluri manusia yang suka menuntut membuat kebebasan kian diperjuangkan. Hampir di semua negara mengakui dan melindungi kebebasan setiap individu masyarakatnya, termasuk Indonesia, negara yang menganut prinsip demokrasi, negara yang mengakui kebebasan berbicara, berpendapat, dan berekspresi yang didukung dengan adanya Undang-Undang (UU) RI Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, serta secara khusus Indonesia mengakui kebebasan berekspresi dalam pasal 28E ayat (3) UUD 1945 amandemen keempat. Di mata dunia pun didukung dengan adanya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM).

Pada abad 21 ini, semakin pesatnya kemajuan teknologi informasi dan komunikasi memudahkan manusia dalam menjalankan beberapa aktifitas, kebebasan seperti mendapat ruang lebih. Dengan mudah semua manusia mulai usia remaja hingga orang tua berselancar ria untuk mengungkapkan pendapatnya dan berekspresi sesuai keinginannya. Internet tentu saja masuk sebagai media yang mampu menjadi sarana yang penting dalam pemenuhan hak berpendapat dan berekspresi ini. Termasuk juga di dalamnya adalah media sosial (medsos), yang menjadi alat untuk tersebarnya informasi apapun secara luas, ke pelosok negeri hingga ke penjuru dunia.

Di berbagai negara hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi telah lama digagas, hak ini mencakup hak untuk menyampaikan pendapat dan mempertahankannya, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi dan gagasan melalui media apapun. Di Indonesia juga tidak jauh berbeda, hanya saja ada beberapa pembatasan konstitusional ketika itu menyangkut media, internet, dan teknologi. Pembatasan tersebut secara tersirat dan tersurat dikuatkan dengan Undang-undang No.11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Undang-undang tersebut seperti yang menjadi kekhawatiran masyarakat dunia ketika ada negara yang menerapkan hukum pidana untuk dapat mengkriminalkan pelaku kebebasan berekspresi di media sosial, dengan alasan untuk melindungi nama baik dan menjaga keamanan. banyak kalangan menilai bahwa undang-undang semacam itu berbenturan dengan undang-undang yang mendukung kebebasan dan akan membatasi pergerakan setiap individu di berbagai macam media. Meskipun begitu masih banyak negara yang tidak menerapkan hukum pidana bagi pelaku kebebasan berekspresi, seperti di negara-negara maju yang hanya menerapkan hukum perdata untuk kasus yang sama.

Sebenarnya pada mulanya UU ITE ditujukan agar tidak menyinggung SARA, tidak menimbulkan kebencian atau permusuhan individu maupun kelompok seperti yang tertulis dalam pasal 28. Tetapi pada prakteknya undang-undang tersebut juga digunakan untuk menjerat pelaku kebebasan berekspresi yang menyangkut kasus pencemaran nama baik di media-media seperti media sosial atau kasus yang mengganggu keamanan serta kenyamanan individu dan golongan tertentu dengan mengacu pasal 27 dalam UU ITE. Ini berarti ada ancaman penjara buat Netizen Indonesia.

Kita tau memang ada hal positif dari undang-undang tersebut, yaitu fungsi utama yang digunakan untuk mengontrol kebebasan di Indonesia, karena semakin majunya teknologi informasi dan komunikasi membuat semakin cepatnya segala informasi menyebar luas. Kemajuan teknologi yang tidak diimbangi dengan kematangan mental serta tingginya moral pemakainya akan menimbulkan beberapa kalangan terancam keamanan dan kenyamanannya.

Melihat kondisi masyarakat sekarang yang mudah emosi, mudah dendam, dan mudah mendiskriminasi serta masih kurangnya pemahaman tentang bagaimana menggunakan media baru (internet) sepertinya memang perlu adanya kontrol yang membayangi setiap tindakan seseorang dalam menggunakan media untuk berpendapat atau berekspresi, selama orang tersebut belum memiliki kontrol terhadap dirinya, undang-undang itu ada benarnya. Adapun jika ada kerjasama yang baik dari semua pihak, tidak boleh ada yang merasa lebih berperan atau dominan ketika kita bicara tentang tata kelola (governance) ITE dalam kerangka kepentingan kebebasan berekspresi. Tinggal kita memerlukan edukasi dan peningkatan pemahaman terhadap cara pakai media untuk berbagai urusan termasuk social activism demi kehidupan masyarakat yang harmonis.


*Pegiat LPM Siar, Jurusan Manajemen

Comments

Popular posts from this blog

Pemira FIS Ternodai

Indikasi Pemalsuan Syarat Pencalonan di HMJ Geografi Rabu (25/11) – Ketua Komisi Pemilihan Fakultas Ilmu Sosial (KPFIS), Junaidi, mengatakan   bahwa terjadi beberapa permasalahan pada serangkaian kegiatan Pemilihan Raya (Pemira) FIS. Salah satunya adalah i ndikasi pemanipulasian sertifikat ospek jurusan oleh Himpunan Mahasiswa Jurusan Geografi (HMJ Volcano) untuk wakil calon nomor 1, Rezra. ”Ada ketidakterimaan dari beberapa mahasiswa mengenai salah satu calon, gara-gara ada salah satu calon yang persyaratanya nggak tepat, menurut mereka. Contohnya sertifikat mbak, menurut sang pelapor itu palsu”, ujar Subur selaku Ketua KPFIS.

LPJ Ajarkan Korupsi pada Mahasiswa*

Jika kita membicarakan tentang korupsi memang tidak akan pernah ada habisnya. Dari siapa yang bertanggung jawab sampai bagaimana korupsi itu selau meracuni moral bangsa Indonesia. Banyaknya koruptor juga tidak lepas dari peran pendidikan yang ada pada jenjang sekolah ataupun pendidikan yang tertanam pada keluarga sejak kecil. Kebiasaan berbohong yang di ajarkan oleh para orang tua memicu salah satu bibit-bibit koruptor. Contohnya seperti ini, ada orang tua bilang ke anaknya “nak nanti kalau ada yang mencari mama, bilang yaa mama sedang keluar” padahal si mama sedang asyik-asyik menonton TV di dalam rumah. Secara tidak langsung sang mama mengajarkan berbohong pada si anak. Ketika anak terdidik untuk tidak jujur, maka kebiasaan ini akan membentuk karakternya, apalagi tanpa adanya landasan agama yang jelas.