Oleh Mai Aysel
*Firda Febriana
Di hadapan Galata yang pilu, banyak wajah bersemayam
duka, suara-suara riuh, kaki-kaki penuh peluh darah menopang tubuh tak gentar
memindahkan kapal menyusuri bibir bukit lalu melabuhkannya ke lautan. Bahkan
lautan sempat berkata, bahwa ini adalah perjalanan antara batas impian dan
kenyataan, perjalanan orang-orang terbaik.
*
Ia kembali terhenyak diantara hening yang
mengepungnya. Begitu saja, desau ombak menjelma desau nafas, inderanya tersihir
oleh pemandangan permata yang diapit diantara Emerald dan Zafir; Selat
Bosphorus.Tadinya, Ia hanya penulis cerita yang biasa menampung kisah ayahnya
di selembar kertas, berharap suatu saat nanti ia dapat mewarisi keberanian seperti sang ayah.Lautan ketika itu tidak
menawarkan apa-apa, kecuali ketenangan yang dikacaukan oleh suara debum
tembakan.Dunia, ketika itu hanya dipenuhi baku hantam. Maka, demikianlah yang
terjadi. Setiap kalimat yang diucapkan sang ayah membuat hatinya gentar dan
rasa takutnya hilang.
“Pergilah ke selat
Bosphorus, kau akan tahu mengapa aku cinta mati kepada Laut Marmara bahkan
melebihi cintaku pada ibumu, dan yang paling penting,” kelakar sang ayah.
“Apa??” Sahutnya dengan mata berbinar – binar.
“Kau akan tau apa itu keberanian sejati,” Jawab sang
ayah pendek.
Begitulah percakapan lama itu berlangsung. Kini, tak
ada yang dipahaminya, kecuali kapal dan pensil yang membawanya mengarungi
perkataan sang ayah yang menancap dalam,terlalu dalam sampai ia tak mampu untuk
tidak mengingatnya. Dibekapnya pensilnya, cerita-cerita sang ayah kemudian
bertebaran dalam ingatan.
Kau tahu, perbatasan Laut Marmara saat itu sangat
menakutkan, di sana banyak perompak, prajurit-prajurit Romania yang berjaga,
dan para bedebah yang merajah kapal-kapal para korban perang. Butir peluru tak
terhitung berapa kali menancap di tubuh kapal. Banyak dari wajah kelasi dan
awak kapal didera ketakutan; takut jika harus kembali ke daratan dengan hampa,
jasad ada namun nyawa lenyap, takut jika harus meninggalkan keluarga yang tertatih-tatih
perasaanya menanti senyum kepulangan mereka.
“Tapi ayah para penjaga laut itu kan juga punya
banyak senjata, mengapa harus takut?” Komentarnya.
“Mereka sebenarnya tidak takut, mereka hanya lupa
mereka sedang di Marmara,” jawab sang ayah pendek
“Mengapa dengan Marmara Yah?”
Ia lalu tersenyum getir, berharap
wajah sang ayah hadir di hadapannya. Pensilnya menari-nari, mengisi selembar
kertas yang kosong, menemaninya menembus batas kenyataan dan impian. Deretan
paragraf lalu hadir mengawali ingatannya akan kisah sang ayah, disentuhnya
ombak kecil Bosphorus, ditumpahkan pandangannya ke arah bangunan-bangunan
pencakar langit dengan arsitektur maha indah di seberang lautan. Orang-orang
tampak tersenyum menikmati panorama, tidak terkecuali wanita-wanita berkerudung,
mereka kini dapat memakai kain penutup itu dengan bebas, tanpa takut kain itu
ditarik dan rambut-rambut mereka kembali terurai. Maka seperti dikisahkan sang
ayah, beginilah kisah itu ditulisnya.
*
Laut Marmara ketika itu dikacaukan
oleh suara tembakan meriam, warna birunya menjadi merah, bahkan ombaknya sudah
tidak tampak. Wajah-wajah penantang kematian baris di hadapan
banteng-benteng yang terlihat kokoh. Mereka terus berusaha merobohkan susunan
bata itu, berharap perjalanan ini segera menemui akhirnya.Sekali, dua kali,
lalu beribu kali mereka mengerahkan seluruh daya tapi gagal. Benteng-benteng yang
dilindungi oleh rantai raksasa itu masih terlalu angkuh untuk mereka robohkan.
Mayat-mayat berjatuhan, lalu pasukan kembali mengamankan diri.
Maka, di kegelapan malam, jiwa-jiwa
yang tersisa itu kembali berkumpul, berusaha menyatukan harapan yang tak lagi
utuh. Wajah mereka lemas, suara-suara
sumbang mulai bermunculan.
“Wahai Mehmet, engkau telah
mengakibatkan kerugian besar bagi pasukan kita, engkau telah menewaskan banyak
pasukan. Seandainya engkau tidak membawa kita ke sini tentulah kita tidak
mendapat kerugian besar.”
Namun belum selesai perkataan itu,
meja digebrak oleh seorang algojo bertubuh besar, Zakarous Pasha.
“Jangan dengarkan dia wahai Mehmet!
sesungguhnya kita datang kemari tidak ada harapan untuk kembali melainkan
sebagai seorang petarung! Dan seandainya mereka membicarakan tentang kekuataan
pasukan, ketahuilah bahwa Alexander Agung datang dari barat menuju ke timur
membawa setengah pasukan daripada jumlah kita yang sekarang dan menaklukan
sebagian besar timur dari setengah pasukan daripada kita.”
Suara-suara yang lain menyusul,
“Benar Mehmet!
Kita membawa dua kali lipat pasukan, dan saya tidak akan terima jika kita akan kalah
di balik banteng-benteng dan timbunan batu-batu itu.”
Mehmet kemudian bangkit, alisnya berkerut, sorot
matanya nanar memandang wajah-wajah penuh harap, kedua rahangnya menegang, suaranya kemudian menjadi serak.
“Yeni bir
strateji belirlemek! Hepimiz ayaga, kalkip olsun!!”[1]
Semua lalu bangkit dari duduk diamnya, suara
pemimpin mereka menggetarkan jiwa-jiwa
yang hampir karam oleh kekalahan. Tangan mereka sontak mengepal, keringat mulai
bercucuran semakin banyak.
“Seandainya
di lautan Marmara kita tidak bisa melewati rantai besar yang menghalangi tembok
Kontantinopel, maka kita akan melaluinya dengan cara lain. Kita punya kapal,
kapal kita ini akan coba kita labuhkan di atas pantai Galata setelah kita
labuhkan di pantai Galata maka biarlah kita melalui kapal-kapal kita di atas
dataran Galata, setelah itu kita kembalikan lagi ke laut.”
“Apakah engkau lupa bahwa daratan Galata adalah
sebuah bukit?Apakah kita akan membawa kapal kita melalui bukit?”
“Iya, saya tahu itu adalah sebuah bukit. Namun
ketika engkau tidak dapat melewati itu dan tidak menyangka akan melewati itu,
maka tidak pula satu pun para bedebah Konstantinopel!”
Maka, di gelapnya malam yang semakin pekat,
langkah-langkah bergeriliya. Mereka berbaris saling menguatkan, meski tak satu
dua kaki harus dikorbankan karena tertindas tubuh kapal. Keberanian sejati itu
muncul, terpancar abadi hingga sekarang.
Kalimatnya lalu berakhir, diletakkan pensilnya,
ditulisnya beberapa kata di akhir tulisan. Ayah,
kisah ini memang belum kau selesaikan karena waktu tidak lagi ada untuk kita namun
percayalah, keberanianmu dan Mehmet kini sudah kugenggam dalam sebuah amanah besar
Anakkmu
terkasih,
Reccep Tayyib
Erdogan[2]
Comments
Post a Comment