oleh: Mutia Husna Avezahra
Di bawah
pelataran pohon UKM yang rindang, saya duduk bersandar tembok memandang kolam yang mengitari gazebo berbentuk
trapesium. Dari kejauhan nampak kolam itu begitu tenang, juga gelap, hanya teramati
daun-daun kecil mengambang di permukaan. Dalamnya genangan entah seberapa, hal
tersebut menyulut pertanyaan tentang apa sajakah yang telah tersimpan pada
dasar keruhnya, tentang kisah dan peristiwa yang pernah terjadi di kampus UM
tercinta.
Saya beranjak
menembus ingatan, setelah kira-kira 4 tahun mengenyam pendidikan di perguruan
tinggi ini, ternyata tidak banyak hal yang saya lakukan, dan terlampau banyak
hal yang begitu saja terlewati tanpa ada penyelesaian. Begitu mudahnya semua
yang saya alami hanya menjadi lalu lalang, serta mengenang adalah perihal yang
akan menjadi sia-sia belaka. Oleh karenanya, catatan ini mungkin hanya sebagai
cara untuk menghindari alpa terhadap perjalanan sejarah.
1. Krisis Identitas Institusi
Beberapa waktu
lalu sebuah satuan aliansi di Kota Malang menulis petisi di change.org untuk
menyelamatkan para janda manula terhadap pengusiran dari kediaman mereka di kompleks
perumahan Universitas Negeri Malang jalan Bogor. Surat pengusiran tersebut
dilayangkan beberapa hari sebelum perayaan lebaran tiba, tanpa ada solusi
maupun kompensasi, institusi meminta para janda mengosongkan rumah dalam
tenggat waktu yang tak seberapa. Disini terlihat betapa penghormatan itu
dilewatkan, unggah ungguh disepelekan, semacam kedurhakaan. Kendatipun para
dosen dan guru besar telah tiada, tapi mereka meninggalkan istri-istri yang
beranjak renta untuk sekedar memaklumi laku institusi tempat para suami
mengabdi.
Kemudian muncul
pertanyaan: ada apa UM ini sebagai institusi? Benarkah isu Grand Planning
pembangunan UM akan makin melumpuhkan sisi-sisi empati orang-orang di dalamnya?
Pembangunan Graha Rektorat yang semakin menjulang menembus awan, dengan rangka besi-besi
dan ton terlihat paling tinggi diantara gedung-gedung tua disekitarnya yang makin
kehilangan jati diri. Untuk dapat menancapkan rangka besi-besi dan ton Graha
Rektorat itu, institusi harus rela menumpas salah satu bangunan tua yang pernah
dimiliki. Mungkin kita sudah mulai mengendus ada orientasi proyek-proyek
pembangunan di sana, semacam ada ilusi yang hendak dibangun oleh institusi
karena kebutuhan zaman yang semakin narsistis dan kebutuhan infrastruktur
lembaga pendidikan untuk memfasilitasi banyaknya komoditas (mahasiswa) sehingga
siap disalurkan di industri pekerjaan kelak.
Entah bagaimana
konsep manajemen industri pendidikan yang hendak diterapkan. Apakah bakalan
bikin gedung kuliah seperti kampus sebelah? Tak ada yang tahu. Jadi jangan
heran kalau SPP UKT (Uang Kuliah Tunggal) tidak masuk akal besarnya, tanpa ada
pertimbangan beban hidup tanggungan keluarga. Selama transparansi masih menjadi
barang yang sulit diakses oleh mahasiswa, tidak usah dungu menatap beragam
fasilitas yang dibangun kampus, sementara mahasiswa hanya sebatas mimpi untuk
dapat menggunakannya. Sebut saja kolam renang, lapangan tenis, pusat bisnis,
mungkin setelah ini hotel, mall,
tempat fitness, atau Starbucks di
dalam kampus.
Sudahlah, segala
perbaikan infrastruktur itu hanya ilusi semata. Institusi hanya hendak memoles
imaji, karena industri pendidikan tinggi tengah bersaing ketat untuk menjaring
keuntungan dari tren berkuliah bagi khalayak muda. Sayang sekali UM sebagai
institusi seolah justru mengikuti alur selera pasar, tidak berhasil
mempertahankan keunikannya sendiri berupa kesederhanaan yang makin langka diketemukan
di peradaban masa kini, namun UM justru terbelenggu pada kegiatan bersolek
menjadi bukan dirinya sendiri.
2. Terjebak pada Romantisme Masa Lalu
Satu hal yang
menghambat sesuatu untuk bertumbuh dan berkembang adalah sikap megalomania,
atau dapat saya artikan sebagai terjebak pada romantisme masa lalu. Rupanya
masa lalu UM sebagai Institut keguruan masih sangat melekat dalam benak kita
masing-masing. Terjebak pada betapa cemerlangnya UM saat masih menjadi IKIP,
adalah sebuah tindakan yang tidak fair,
salah-salah membuat kita tidak dapat berpikir kontekstual. Walaupun tidak
sepenuhnya sejarah harus diabaikan, tetapi kita tetap perlu waspada terhadap pembunuhan
karakter yang sering terjadi tanpa disadari. Contoh yang paling sering ditemui,
mahasiswa yang berada di jurusan keguruan pastilah mengedepankan serangkaian sifat
guru seperti patuh, taat aturan, mungkin juga konvensional—yang dijunjung
tinggi dalam norma sosial, seolah dapat mereduksi proses pendewasaan anak muda
yang sarat akan kekritisan, pembangkangan dan perlawanan. Hal tersebut seolah
menjadi tameng untuk melegitimasi batasan-batasan yang hendak diberikan oleh
mahasiswa dalam menjalani proses belajar. Dengan demikian kita bisa
memprediksi, bahwa mungkin kedepannya UM tidak lagi memproduksi guru, melainkan
hanya sebagai pabrik mesin perakit robot pengajar.
3. Kondusif bukan berarti dinamis
Ini mungkin
tidak hanya terjadi di kampus UM. Soal kegiatan belajar mengajar antara
dosen-mahasiswa yang hanya sebatas formalitas belaka. Sangat jauh dari tujuan
belajar itu sendiri. pemikiran pragmatis bagi pelajar-pelajar oportunis
bukanlah hal yang baru dalam dunia perguruan tinggi. Tentu ada banyak kekhawatiran
selepas menanggalkan almamater sebelum menghadapi dunia kerja yang terdengar
kejam, tetapi menjadi mahasiswa yang berada di zona praktis bukanlah sebuah
pilihan yang tepat. Sangat mudah bagi kampus untuk dapat membuat mahasiswa
berada di zona praktis, sebagaimana yang pernah diutarakan Eko Prasetyo dalam
buku ‘Bangkitlah Gerakan Mahasiswa’, beri saja mahasiswa parkiran yang luas,
kelas ber-Ac dan starbucks untuk ngopi, agar dapat menciptakan ilusi kenikmatan
dan menjauhkan mahasiswa dari realitas masyarakat yang sedang terjadi. Tanpa
kepanasan di ruang belajar, tanpa susah-susah untuk ngopi di warung pinggir
jalan, mahasiswa tak perlu lagi merasakan resah dalam kehidupannya. Lihatlah,
kehidupan belajar mereka semakin hampa oleh angka-angka yang nir makna.
Pertanyaannya adalah, kondisi belajar yang tercipta dengan suasana kondusif
(baca: guru menerangkan, murid mendengarkan), apakah dapat berkontribusi bagi
masyarakat? Jika masih ada kalimat ‘masyarakat masih melarat’, jangan-jangan
ada yang salah pada pelaksanaan kegiatan belajar mengajar perguruan tinggi ini.
4. Kultur Ormawa (Organisasi Mahasiswa)
Setidaknya ada
tiga jenis organisasi yang dapat dipetakan di UM tercinta. Meski karakter
ketiganya tidaklah mutlak, namun sedikitnya ada kecenderungan yang menjadi
persamaan-persmaan diantaranya. Pertama, badan eksekutif mahasiswa (BEM), baik
di tingkat jurusan, fakultas maupun universitas, organisasi ini biasanya punya
porsi besar berfokus pada kegiatan praktis mahasiswa, menyangkut
kebutuhan-kebutuhan teknis di lingkupnya masing-masing. BEM selalu punya posisi
politis di berbagai momentum seperti PKPT atau Pemira, tapi tidak semua BEM di
UM memiliki kesadaran dan kemampuan akan hal itu. Kedua, unit kegiatan mahasiswa (UKM), ukm
merupakan organisasi tingkat universitas yang memfasilitasi kebutuhan
kreativitas mahasiswa seperti kesenian, olahraga, dan bermacam keahlian
lainnya. UKM memiliki kecenderungan untuk alpa dari pentas politik mahasiswa,
mungkin ada beberapa saja yang berminat, tetapi karakter yang khas pada UKM
adalah tak peduli dengan keributan, beberapa ada yang menyuarakan lewat karya
dan beberapa yang lainnya sinis memandang dinamika. Ketiga, organisasi ekstra
kampus (OMEK), kendatipun UM menahbiskan dirinya bebas dari riuh rendah suara
para aktivis OMEK, itu adalah bullshit
belaka. Sampai kapanpun OMEK akan tetap ada, satu sisi sebagai alternatif
terhadap buruknya pendidikan dan kesadaran politik di dalam kampus, sisi yang
lain adalah tempat bermain orang-orang berkepentingan tertentu. Karakter OMEK
tidak dapat digeneralisasikan, setidaknya ada yang bersifat konfrontatif,
menginginkan perubahan radikal berdasarkan ideologi tertentu, ada pula yang
hanya bergerak dibidang praktis demi akses menyukseskan hierarki lanskap kekuasaan
politik, seperti memenangkan pemira, menjadi presiden BEM untuk satu periode
atau sekedar jadi idola maupun panglima.
Kita perlu
menyadari perbedaan ketiganya dengan segala kekurangan dan kelebihan yang ada.
Juga kita perlu mengapresiasi upaya-upaya mahasiswa yang turut berproses di
jalan yang berbeda-beda dan juga memaklumi kontribusi mereka terhadap keruwetan
yang terjadi. Begitulah dinamika. Tapi ada sesuatu hal yang semakin
mengkhawatirkan, bahwa pergerakan ormawa mungkin kehilangan suatu wacana yang
mengikat untuk lantang menjadi satu suara ditengah-tengah perbedaannya.
Ketiganya mungkin sedang asik terjebak oleh kegiatan-kegiatan dangkal seperti
ambisi untuk membikin konser megah di graha cakrawala sebagai bukti eksistensi
mahasiswa masa kini atau mungkin arogansi antar kubu untuk duduk di kursi
jabatan tertentu. Dengan demikian hal-hal yang bersifat esensial semakin kabur
untuk dapat diketemukan, momentum sudah tidak menyentuh sisi heroik yang
dimiliki anak muda, dan oleh sebab itu organisasi tidak lagi menjadi wadah
bertumbuhnya jiwa-jiwa besar beserta mimpi-mimpi yang bebas.
Agaknya
masing-masing organisasi itu perlu berkontemplasi menemukan suatu wacana
universal yang menyangkut diri mahasiswa itu sendiri, bukan karena golongan,
aliran atau sekedar nomor angkatan. Sebelum semakin jauh jurang prasangka antar
masing-masing pihak, sebelum kita semua beranjak sibuk terhadap peraturan
perkuliahan yang mengebiri kepekaan, kekritisan dan hakikat mahasiswa sebagai kaum
perubahan.
***
Comments
Post a Comment