oleh: M. Nur Fahmi*
swatt-online.com |
Anjing-anjing mulai melolong
dipenjuru negeri
Mencari mangsa tuk puaskan
nafsu dan birahi
Tiap hari mengintai dari
sudut kota dan pelosok desa
Mengamati buruan yang pas tuk
dinikmati
Dihadapan kelinci beringas bak
penguasa negeri
Bagai tak kenal takut apalagi
mati
Menatap dengan penuh arogansi
Menganggap dunia bagai milik
sendiri
Dihadapan macan si anjing
menatap mamang
Sekejap suasana jadi suram
Semua bayangan buyar
Berganti kegelisahan
Sekejap itu pula anjing teringat
adanya Tuhan
Melihat macan tertidur pulas
dalam buaian
Perlahan mendekat dalam diam
Mendekat seraya mengancam
Terus mendekat menunggu waktu
tuk menerkam
98 dijadikan tonggak baru peradaban
di ibu pertiwi dan ekspresi merupakan babak baru tuk tunjukkan jatidiri.
Kebebasan berekspresi bagai hadiah atas perjuangan panjang melawan tirani.
Mahasiswa sebagai aktor pembawa kebebasan berekspresi menjadi pihak yang paling
gembira atas hadiah yang telah “diberikan.” Sembari berharap babak baru akan
lebih gemilang.
Setelah perjuangan yang panjang
kenapa kita mensia-siakan apa yang telah kita dapatkan? Bukankah kita telah
mendapat kebebasan yang selama ini kita impikan? Kita bebas mengkritik segala
bentuk kebohongan dan kemunafikan. Kita juga bebas bersuara lantang. Bukankah
itu yang selalu kita damba-dambakan? Namun kenapa kini kita hanya bisa menatap
dalam diam? Apakah sudah tak ada lagi keberanian dalam diri ataukah Idealisme
sudah semakin terreduksi?
Hanya didorong oleh janji-janji yang diberikan oleh struktur sosial,
budaya dan ekonomi. Dengan kesarjanaannya, kesempatan-kesempatan ekonomis,
karier, status sosial dan berbagai jenis kehormatan lainnya terbuka secara
lebih luas bagi para mahasiswa. Dalam jaman moderen yang adalah jaman
kemenangan modal ini, jelas terlihat bahwa mahasiswapun telah mengabdi padanya.
Hadiah kebebasan berekspresi
sebenarnya bagaikan politik etis yang di gagas van de venter di era colonial untuk
memperkuat hegemoni imperialisme di Indonesia. Pada kasus setelah era reformasi
kebebasan berekspresi dijadikan sebagai alat untuk mereduksi keinginan
mahasiswa untuk bersuara. Kebebasan untuk berekspresi menjadikan mahasiswa tak
lagi punya keinginan untuk mengungkapkan pendapatnya. Begitu pual yang terjadi
pada tataran pers mahasiswa.
Mahasiswa yang diwakali pers
mahasiswa (persma) terjebak pada level wacana. Wacana itu penting tetapi yang
lebih penting bagaimana mengimplementasikan wacana ini pada tataran kehidupan
yang lebih nyata. Paling tidak dari gerakan itu ada interaksi positif dan hipotesis
yang bisa ditawarkan. Sehingga akhirnya melahirkan sintesis baru dari
perkembangan dan benturan yang terjadi. Jangan sampai persma hanya terjebak
pada intelektual production saja, tetapi juga mampu bekerja pada tataran
praksis. Karena pers mahasiswa merupakan defender
of people (benteng rakyat).
Apabila kemarin kita dibenturkan lewat
benturan ekonomi, lalu militer bahkan ideologi. Saat ini birokrasi pemerintah
atau bahkan kampus tak lagi memebenturkan pada hal semacam itu lagi. Saat ini
pihak birokrasi mencoba membuai kita melalui ideologis dan ekonomi.
*Direktur LPM Siar
Comments
Post a Comment