Skip to main content

UM: Green Campus yang Butuh Banyak Tempat Sampah

Oleh: Baharudin Yusuf     

Siapa yang tidak mendambakan kebersihan lingkungan? Mahasiswa mana yang tidak menginginkan kampusnya bebas dari sampah-sampah berserakan? Ya, beberapa pertanyaan itu tampaknya penting untuk diperhatikan oleh semua civitas Universitas Negeri Malang (UM). Pasalnya, masih banyak ditemui sampah-sampah bungkus plastik, gelas dan botol minuman, kertas, sterofoam, dan sebagainya di tepian jalan UM. Penyebab utamanya adalah kurangnya tempat sampah dan kondisinya yang beberapa sudah rusak.

            Kurangnya jumlah tempat sampah membawa dampak negatif bagi kampus maupun bagi orang-orang yang beraktivitas di dalamnya, utamanya mahasiswa. Lingkungan akan menjadi kurang nyaman dengah berserakannya sampah. Hal itu juga sangat mengganggu setiap mata yang melihat. Pastilah nanti akan timbul pemberian label pada UM sebagai kampus yang kotor. Mahasiswa pun akan dianggap tidak sadar kebersihan. Sebenarnya, kebanyakan mahasiswa bingung mau membuang sampah karena tidak ada tempat atau tempatnya yang terlampau jauh. Akhirnya, mereka terpaksa membuang sampah sembarangan. Contohnya saja di jalan Graha Cakrawala tidak dijumpai tempat sampah. Padahal, jalan tersebut menjadi salah satu jalan utama di UM dan dilewati oleh banyak pengguna jalan.

            “Sebetulnya, sudah ada petugas kebersihan kok yang mengurusi sampah kampus, mulai dari menyapu sampai mengangkut sampah. Namun, perlu diketahui juga kalau mereka tidak bekerja setiap jam untuk itu. Jumlah petugas kebersihan tidaklah banyak dan UM juga sangat luas. Jadi, memang kesadaran setiap orang untuk menjaga kebersihan sangat diperlukan. Nggak cukup hanya mengandalkan petugas kebersihan,” ungkap Syamsul Irawan, Kepala Bagian Urusan Umum UM yang ditemui awak Siar di kantornya, Rabu (4/3).

            Penambahan jumlah tempat sampah di UM adalah perlu sifatnya. Hal tersebut dapat menjadi solusi yang mendasar, demi mengatasi keterbatasan petugas kebersihan dan menjadikan kampus ini tetap bersih,. Mulai dari memperbanyak kuantitas, memperbaiki kualitas, sampai mengatur penyebarannya di setiap lingkungan kampus. Seharusnya, hal sekecil ini perlu mendapat perhatian khusus, baik dari pihak otoritas kampus maupun mahasiswa yang memiliki intensitas aktivitas cukup tinggi di sana.

      Syamsul mengatakan bahwa penambahan jumlah tempat sampah ini memang akan ditindaklanjuti. “Ya, itu sebetulnya akan kami usulkan pada rektor dan memasukkannya dalam rencana anggaran dana UM tahun 2015 ini. Semoga saja hal tersebut dapat disetujui oleh pihak rektorat. Jadi kan  persoalan sampah ini tidak sampai berlarut-larut,” paparnya.

            Mengenai pengadaan tempat sampah di UM, antara pihak fakultas dan pihak universitas sebenarnya memiliki kebijakan masing-masing. Contohnya di Fakultas MIPA yang pengadaan jumlah tempat sampahnya dapat dikatakan cukup banyak, terlebih untuk tempat sampah dengan pemisahan sampah organik dan anorganik. Pengadaan tempat sampah ini dilakukan oleh fakultas, dan bukan universitas. Sementara di fakultas lain, belum begitu banyak dijumpai tempat sampah seperti demikian. Dari hal ini, seharusnya setiap fakultas  mampu memberikan sumbangsih besar bagi kebersihan kampus. Apabila di setiap fakultas mulai sadar kebersihan di lingkup terkecil, artinya mampu menyediakan banyak tempat sampah sendiri, maka hal tersebut menjadi begitu berarti demi menjaga UM tetap indah dan bersih.

             Banyak manfaat yang akan didapat dari penambahan tempat sampah di UM. Bukan hanya itu, penempatan dan penataan tempat sampahnya sendiri yang lebih rapi dan strategis akan mempermudah orang-orang untuk membuang sampah. Secara tidak langsung juga mengasah kesadaran berlingkungan. Mengingat UM sendiri menggiatkan program “kampus dalam taman” yang dimaksudkan bahwa kampus lebih mengedepankan keasrian, kesejukan, dan tentunya kebersihan.

Namun slogan yang dilemparkan oleh rektor terdahulu ini kiranya memerlukan kritikan. Slogan ”membangun kampus dalam taman” berarti membangun infrastruktur dalam suatu ekosistem hijau, yang berarti juga akan merusak tatanan ekosistem hijau itu tadi. Seharusnya slogan yang didengungkan adalah ”membangun taman dalam kampus” yang bermakna mewujudkan ekosistem hijau dalam suatu dimensi lingkungan kampus, tanpa merusak dan malah akan mengekstensifkan ekosistem hijau tersebut.

Terlepas dari itu,  hal mendasar adalah bagaimana kita mewujudkan kebersihan lingkungan dan membebaskan kampus kita dari sampah. Apa jadinya jika green campus namun kekurangan tempat sampah? Aneh, bukan?

*mahasiswa geografi (2012), reporter Siar
           

Comments

Popular posts from this blog

Pemira FIS Ternodai

Indikasi Pemalsuan Syarat Pencalonan di HMJ Geografi Rabu (25/11) – Ketua Komisi Pemilihan Fakultas Ilmu Sosial (KPFIS), Junaidi, mengatakan   bahwa terjadi beberapa permasalahan pada serangkaian kegiatan Pemilihan Raya (Pemira) FIS. Salah satunya adalah i ndikasi pemanipulasian sertifikat ospek jurusan oleh Himpunan Mahasiswa Jurusan Geografi (HMJ Volcano) untuk wakil calon nomor 1, Rezra. ”Ada ketidakterimaan dari beberapa mahasiswa mengenai salah satu calon, gara-gara ada salah satu calon yang persyaratanya nggak tepat, menurut mereka. Contohnya sertifikat mbak, menurut sang pelapor itu palsu”, ujar Subur selaku Ketua KPFIS.

LPJ Ajarkan Korupsi pada Mahasiswa*

Jika kita membicarakan tentang korupsi memang tidak akan pernah ada habisnya. Dari siapa yang bertanggung jawab sampai bagaimana korupsi itu selau meracuni moral bangsa Indonesia. Banyaknya koruptor juga tidak lepas dari peran pendidikan yang ada pada jenjang sekolah ataupun pendidikan yang tertanam pada keluarga sejak kecil. Kebiasaan berbohong yang di ajarkan oleh para orang tua memicu salah satu bibit-bibit koruptor. Contohnya seperti ini, ada orang tua bilang ke anaknya “nak nanti kalau ada yang mencari mama, bilang yaa mama sedang keluar” padahal si mama sedang asyik-asyik menonton TV di dalam rumah. Secara tidak langsung sang mama mengajarkan berbohong pada si anak. Ketika anak terdidik untuk tidak jujur, maka kebiasaan ini akan membentuk karakternya, apalagi tanpa adanya landasan agama yang jelas.