Jumat, 23 Januari dini hari, pelataran gedung
A3 Universitas Negeri Malang (UM) yang biasanya senyap terdengar riuh oleh
tumpahan massa pendukung para kandidat Badan Eksekutif Universitas (BEM-U) dan
Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) yang mencalonkan diri di Pemilu Raya (Pemira).
Massa pendukung tersebut rela duduk di pelataran bergelar tikar demi menunggu
kepastian pemenang. Pengorbanan para pendukung
tersebut tidak meluluhkan kekerasaan peraturan yang sudah ditetapkan oleh KPU
dan Panwaslu walaupun para pendukung tersebut kedinginan. Selama semalam penuh mereka harus menunggu kepastian pemenang.
Jumat subuh (23/01) akhirnya penantian para
pendukung dan timses menemui titik terang. Rofi’uddin dan Atto’illah terpilih sebagai pasangan Presma dan Wapresma UM 2015.
Keluar sebagai pemenang dalam pemira,
Roffiudin mengaku senang dan terharu. Menurut Roffiudin, hal itu merupakan kebahagiaan dan keharuan karena kemenangan yang dia
dapatkan berasal dari dukungan teman-teman. “Terpilihnya ini (presiden mahasiswa, red) bukan akhir dalam perjuangan, tapi langkah awal perjuangan,” tuturnya. Setelah terpilih, kedua pasangan yang menjadi
pemenang ini ingin segera melaksanakan visi dan misi yang telah mereka buat.
Ditengah kegembiraan para pendukung Presma terpilih
sebenarnya terdapat permasalahan besar yang terjadi sebelum pengumuman
dilakukan. Beberapa Tim Sukses (Timses) dan rekan pers yang
hendak meliput jalannya penghitungan suara merasa kecewa karena tidak boleh
masuk gedung penghitungan suara. Menurut Komisi Pemilihan Universitas (KPU) dan
Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu), hal itu dilakukan demi mencegah kericuhan
sehingga yang diijinkan ikut dalam proses
penghitungan suara hanyalah pihak-pihak terkait.[1]
Pihak-pihak tersebut adalahh seluruh kandidat, sepuluh saksi dari
setiap calon, dan pihak rektorat.
Pelarangan peliputan yang dilakukan oleh KPU menunjukkan
sikap antipati terhadap pers dan pencideraan terhadap asas-asas keterbukaan
informasi publik. Padahal dalam UU No. 14 Tahun 2008 tentang keterbukaan
informasi publik sudah dijelaskan bahwa informasi publik haruslah terbuka dan
dapat diakses oleh publik. sikap tersebut seharusnya tidak ditunjukkan oleh
pihak KPU sebagai penyelenggara Pemira. Keterbukaan informasi haruslah
dijunjung tinggi oleh KPU karena keterbukaan informasi merupakan hak setiap
orang di dalam negara demokrasi.
Tidak hanya mencederai asas-asas keterbukaan informasi publik
KPU juga mengkebiri kebebasan pers. Pers yang harusnya mempunyai kebebasan
dalam peliputan untuk memberikan informasi terhadap publik ternyata juga
dihalang-halangi. Padahal dalam UU No. 40 Tahun 1999 pers mempunyai hak yang
seluas-luasnya untuk mencari, memperoleh dan menyebarluaskan informasi kepada
publik.
Pelaksanaan Pemira dan
Penghitungan Suara
Pemilihan yang telah berlangsung pun
menimbulkan rasa kekecewaan dari presiden mahasiswa terpilih karena lebih
banyak suara yang tidak memilih dibandingkan yang memilih. Hal tersebut
menunjukkan bahwa kesadaran mahasiswa dalam memilih masih cukup rendah. Hal ini
cukup beralalasan karena menurut survei yang telah tim redaksi Siar lakukan pada 80 mahasiswa di semua fakultas, hanya 30% mahasiswa yang
memilih.
Selain menanggapi pelaksanaan pemilihan
yang sangat minim pemilih, presiden mahasiswa terpilih juga menanggapi masalah tertutupnya proses
perhitungan. Menurut Rofiudin, seharusnya proses penghitungan berlangsung terbuka. Selain itu, peliputan oleh pers juga
harus diperbolehkan dalam penghitungan suara. “Mungkin tujuan KPU membuat ruangan terisolasi agar kondisi penghitungan berjalan kondusif. Akan tetapi, ada yang salah tangkap dengan tidak mengizinkan pers
masuk dalam acara penghitungan. Seharusnya hal yang seperti itu tidak dilakukan karena sifat pers tidak mengganggu jalannya acara,” ungkap Rofi’uddin. (fhm//gia)
Comments
Post a Comment