Skip to main content

STOP! Candaan dengan kata ‘Autis’!*


Manusia dalam kelompoknya sering menggunakan candaan sebagai alternatif pencair suasana ataupun seni dalam berkomunikasi. Bercanda meskipun terkesan kurang serius, tetap saja mengemban makna. Sayangnya dalam beberapa kesempatan, kerap ditemui candaan yang merendahkan keberadaan suatu kaum tertentu, dalam hal ini contohnya kaum autis.“Autis loe!”  atau “Dasar autis!” adalah seloroh yang dilayangkan ketika kita mengejek kawan, ataupun lawan bicara yang pada saat itu bertingkah aneh bahkan cenderung konyol atau ketikasedang asyik sendiri dengan gadget miliknya—tanpa peduli lingkungan sekitar--tanpa menyadaristigma terselubung yang diampu oleh candaan itu—stigma yang secara perlahan menciderai  citrakaum autis.

Stigma tersebut akan membekam dalam tatanan pergaulan dan pola pandang masyarakat terhadap autis. Masyarakat akan membangun sebuah konotasinya sendiri--bahwa ketika ada orang yang bertingkah sibuk sendiri dan tak peduli, maka hal seperti itu identik dengan autis—tanpa peduli para pengidap autis atau orang tua dari mereka yang mungkin tersakiti hatinya.

Sosok autis, bagi yang kurang paham, memang masih dipandang kurang baik di masyarakat. Karakteristik sifat dan cara pandang yang berbeda dari orang pada umumnya, membuat orang-orang yang kurang mengenal autisme dengan baik melabeli penderita autis: Aneh.

Autis sendiri adalah sebuah kelainan dalam otak yang menyebabkan orang yang mengidapnya mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain.

Walau begitu, autis bukanlah aneh. Mereka hanyalah berbeda, karena mereka mempunyai dunia sendiri dan terkadang kurang peduli pada lingkungan sekitar. Bukan berarti, ketika tingkahnya berbeda lantas mereka dibawah kita yang normal. Para pengidap autisme justru memiliki beberapa kelebihan yang tidak dimiliki oleh kita yang mengaku normal. Untuk menyokong pandangan tersebut, sebuah penelitian yang di terbitkan di jurnal Current Biology memaparkan bahwa ketika 31 anak dengan autis dan 30 anak tanpa autis ditunjukkan cara mengambil boneka bebek dalam toples oleh orang dewasa, anak non autis cenderung (43-57%) meniru langkah tidak penting yang sengaja dilakukan orang dewasa, sperti membuka tutup toples selama dua kali. Sedangkan anak autis tidak meniru langkah non efisien itu. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya anak autis memiliki kecerdasan yang cukup tinggi dalam perkara efisiensi.

Penelitian lain yang dilakukan oleh JAMA (Journal of American Medical Association), membeberkan bahwa pada otak anak autis tepatnya di bagian dorsolateral korteks prefrontal, anak-anak autis memiliki sel saraf 79% lebih banyak daripada anak lain (kira-kira 1,57 miliar sel saraf dibandingkan dengan 0,88 miliar sel saraf pada anak lainnya). Dorsolateral korteks prefrontal sendiri adalah suatu area pada otak yang berfungsi terutama dalam decision making (mengambil keputusan), working memory (mengingat), planning (perencanaan), dan flexibilitycognition(kemampuan otak berpikir dengan menggunakan dua konsep berbeda atau lebih dalam waktu yang bersamaan).

Hal lain yang diungkap dari penelitian tersebut adalah tentang perbedaan berat otak sebesar 17,6% bdi yang dimiliki anak-anak dengan autisme, dibandingkan dengan 0,2% di antara mereka tanpa autisme. Itulah sebabnya anak autis cenderung lebih lambat dalam pertumbuhan karena volume sel saraf lebih banyak walau begitu dengan pendidikan yang baik mereka akan tumbuh menjadi individu yang cerdas seperti Einsten dan Newton.

Lalu, masih menganggap ‘autis’ layak menjadi bahan candaan? Ini saatnya bagi kita untuk bisa saling mengerti bukan menghakimi dengan seloroh-seloroh tak sehat. Candaan itu seharusnya menyegarkan, bukan mengkeruhkan. Bercandalah dengan baik dan bijak.


*Oleh: Anggia Mirza (mahasiswi Sastra Inggris dan bergiat di LPM Siar)

Comments

Popular posts from this blog

Pemira FIS Ternodai

Indikasi Pemalsuan Syarat Pencalonan di HMJ Geografi Rabu (25/11) – Ketua Komisi Pemilihan Fakultas Ilmu Sosial (KPFIS), Junaidi, mengatakan   bahwa terjadi beberapa permasalahan pada serangkaian kegiatan Pemilihan Raya (Pemira) FIS. Salah satunya adalah i ndikasi pemanipulasian sertifikat ospek jurusan oleh Himpunan Mahasiswa Jurusan Geografi (HMJ Volcano) untuk wakil calon nomor 1, Rezra. ”Ada ketidakterimaan dari beberapa mahasiswa mengenai salah satu calon, gara-gara ada salah satu calon yang persyaratanya nggak tepat, menurut mereka. Contohnya sertifikat mbak, menurut sang pelapor itu palsu”, ujar Subur selaku Ketua KPFIS.

LPJ Ajarkan Korupsi pada Mahasiswa*

Jika kita membicarakan tentang korupsi memang tidak akan pernah ada habisnya. Dari siapa yang bertanggung jawab sampai bagaimana korupsi itu selau meracuni moral bangsa Indonesia. Banyaknya koruptor juga tidak lepas dari peran pendidikan yang ada pada jenjang sekolah ataupun pendidikan yang tertanam pada keluarga sejak kecil. Kebiasaan berbohong yang di ajarkan oleh para orang tua memicu salah satu bibit-bibit koruptor. Contohnya seperti ini, ada orang tua bilang ke anaknya “nak nanti kalau ada yang mencari mama, bilang yaa mama sedang keluar” padahal si mama sedang asyik-asyik menonton TV di dalam rumah. Secara tidak langsung sang mama mengajarkan berbohong pada si anak. Ketika anak terdidik untuk tidak jujur, maka kebiasaan ini akan membentuk karakternya, apalagi tanpa adanya landasan agama yang jelas.