Manusia
dalam kelompoknya sering menggunakan candaan sebagai alternatif pencair suasana
ataupun seni dalam berkomunikasi. Bercanda meskipun terkesan kurang serius,
tetap saja mengemban makna. Sayangnya dalam beberapa kesempatan, kerap ditemui
candaan yang merendahkan keberadaan suatu kaum tertentu, dalam hal ini
contohnya kaum autis.“Autis loe!” atau
“Dasar autis!” adalah seloroh yang dilayangkan ketika kita mengejek kawan,
ataupun lawan bicara yang pada saat itu bertingkah aneh bahkan cenderung konyol
atau ketikasedang asyik sendiri dengan gadget
miliknya—tanpa peduli lingkungan sekitar--tanpa menyadaristigma terselubung
yang diampu oleh candaan itu—stigma yang secara perlahan menciderai citrakaum autis.
Stigma
tersebut akan membekam dalam tatanan pergaulan dan pola pandang masyarakat
terhadap autis. Masyarakat akan membangun sebuah konotasinya sendiri--bahwa
ketika ada orang yang bertingkah sibuk sendiri dan tak peduli, maka hal seperti
itu identik dengan autis—tanpa peduli para pengidap autis atau orang tua dari
mereka yang mungkin tersakiti hatinya.
Sosok
autis, bagi yang kurang paham, memang masih dipandang kurang baik di
masyarakat. Karakteristik sifat dan cara pandang yang berbeda dari orang pada
umumnya, membuat orang-orang yang kurang mengenal autisme dengan baik melabeli
penderita autis: Aneh.
Autis
sendiri adalah sebuah kelainan dalam otak yang menyebabkan orang yang
mengidapnya mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan
orang lain.
Walau
begitu, autis bukanlah aneh. Mereka hanyalah berbeda, karena mereka mempunyai
dunia sendiri dan terkadang kurang peduli pada lingkungan sekitar. Bukan
berarti, ketika tingkahnya berbeda lantas mereka dibawah kita yang normal. Para
pengidap autisme justru memiliki beberapa kelebihan yang tidak dimiliki oleh
kita yang mengaku normal. Untuk menyokong pandangan tersebut, sebuah penelitian
yang di terbitkan di jurnal Current Biology memaparkan bahwa ketika 31 anak
dengan autis dan 30 anak tanpa autis ditunjukkan cara mengambil boneka bebek
dalam toples oleh orang dewasa, anak non autis cenderung (43-57%) meniru langkah
tidak penting yang sengaja dilakukan orang dewasa, sperti membuka tutup toples
selama dua kali. Sedangkan anak autis tidak meniru langkah non efisien itu. Hal
ini menunjukkan bahwa sebenarnya anak autis memiliki kecerdasan yang cukup
tinggi dalam perkara efisiensi.
Penelitian
lain yang dilakukan oleh JAMA (Journal of American
Medical Association), membeberkan bahwa pada otak anak autis tepatnya di bagian
dorsolateral korteks prefrontal,
anak-anak autis memiliki sel saraf 79% lebih banyak daripada anak lain
(kira-kira 1,57 miliar sel saraf dibandingkan dengan 0,88 miliar sel saraf pada
anak lainnya). Dorsolateral korteks prefrontal sendiri adalah suatu area pada
otak yang berfungsi terutama dalam decision
making (mengambil keputusan), working
memory (mengingat), planning
(perencanaan), dan flexibilitycognition(kemampuan
otak berpikir dengan menggunakan dua konsep berbeda atau lebih dalam waktu yang
bersamaan).
Hal lain yang diungkap dari penelitian
tersebut adalah tentang perbedaan berat otak sebesar 17,6% bdi yang dimiliki
anak-anak dengan autisme, dibandingkan dengan 0,2% di antara mereka tanpa
autisme. Itulah sebabnya anak autis cenderung lebih lambat dalam pertumbuhan
karena volume sel saraf lebih banyak walau begitu dengan pendidikan yang baik
mereka akan tumbuh menjadi individu yang cerdas seperti Einsten dan Newton.
Lalu,
masih menganggap ‘autis’ layak menjadi bahan candaan? Ini saatnya bagi kita
untuk bisa saling mengerti bukan menghakimi dengan seloroh-seloroh tak sehat. Candaan
itu seharusnya menyegarkan, bukan mengkeruhkan. Bercandalah dengan baik dan
bijak.
Comments
Post a Comment