Skip to main content

Pesta Demokrasi Milik Siapa? Oleh Rosiyanah

Euforia pesta demokrasi di Indonesia pada tahun 2014 begitu sangat terasa. Hal ini disebabkan tahun 2014 ini terjadi pergantian tampuk kepemimpinan secara keseluruhan dari mulai kepemimpinan di daerah, kabupaten/kota, provinsi sampai dengan pemilihan presiden untuk periode jabatan 2014-2019.

Sesuai dengan amanat Undang-undang 1945  pasal 6A ayat 2 yang berbunyi,” pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pemilihan umum.” Adanya pasal tersebut menyebabkan  berbagai partai politik berlomba-lomba merebut simpati masyarakat untuk  memperoleh suara. Untuk mencapai tujuannya tersebut, tak sedikit pula dari partai-partai politik ini yang menghalalkan berbagai cara yang tidak sepatutnya dilakukan oleh calon anggota perwakilan masyarakat. Adanya “penghalalan” berbagai cara tersebut menimbulkan pelaksanaan pemilu diwarnai berbagai pelanggaran yang dilakukan oleh partai politik seperti pemasangan baliho, pamflet dan berbagai atribut pemilu sebelum masa kampanye, adanya money politic yaitu pemberian sejumlah uang kepada masyarakat yang diberikan oleh kader partai untuk memilih dirinya atau partainya pada saat pemilihan, selain itu tidak sedikit partai politik yang melibatkan anak-anak dalam sesi kampanye partai dan yang sedang marak pada pemilu saat ini yaitu pemotretan kertas suara oleh masyarakat yang kemudian ditukar uang kepada partai yang dipilihnya.

Adanya berbagi kecurangan ini mengindikasikan terjadinya kemerosotan nilai dan arti pemilu sesungguhnya. Ironisnya pengrusakan citra pemilu ini dilakukan oleh kader-kader partai yang seharusnya mampu menjadi contoh dan panutan bagi masyarakatnya. Jika sudah terjadi hal seperti ini tidak sedikit pula dari sebagian masyarakat yang berpendapat bahwa “ para anggota dewan membutuhkan rakyat hanya ketika pemilu saja setelah pemilu selesai anggota dewan terpilih duduk disinggasana kekuasaannya dan rakyat kembali dengan setumpuk permasalahan kehidupannya”. Oleh karena itu tidak sedikit pula dari masyarakat yang memilih GOLPUT (Golongan Putih) yaitu sekelompok masyarakat yang dengan berbagi alasannya sehingga tidak mau memilih para wakil rakyatnya karena menurut mereka ada atau tidak wakil rakyat yang menduduki kursi anggota dewan sama saja tidak mengubah kehidupan mereka menjadi lebih baik. Adanya statemen dan faham-faham seperti itu dimasyarakat seyogyanya dapat dimaklumi, hal ini mengingat banyaknya fakta anggota dewan yang kurang bertanggung jawab dalam mengemban amanah rakyatnya. Tidak sedikit dari anggota dewan yang hanya memperjuangkan kepentingan golongan tertentu dan melupakan kepentingan rakyat yang telah memberi amanah kepadanya. Sudah bukan rahasia umum lagi jika banyak anggota dewan yang “amanah” tersebut justru menyalahgunakan amanah yang diberikan untuk memperkaya dirinya sendiri. Hal ini terjadi sebab sebagian anggota dewan berfikir politik adalah bisnis. Seperti yang sudah diketahui modal untuk  menjadi seorang perwakilan rakyat tidaklah sedikit, sehingga banyak yang sudah duduk di pemerintah berusaha mengembalikan modal yang telah dikeluarkan tersebut bagaimanapun caranya termasuk dengan jalan penggelapan uang dan korupsi. Jika sudah seperti ini,pada dasarnya pemilu ini untuk siapa? Alih-alih memilih anggota dewan perwakilan rakyat yang dapat menyuarakan kepentingan rakyat, mencari solusi untuk mengatasi berbagai permasalahan yang terjadi dalam masyarakat atau hanya euforia sesaat memilih seorang penjahat masyarakat yang justru memeras habis kekayaan bangsa dan rakyatnya.

Untuk mengatasi keberlanjutan permasalahan seperti ini, banyak spekulasi bermunculan. Seperti penetapapan kriteria seorang anggota dewan dilihat berdasarkan kualitas pendidikan, pengalaman kepemimpinan dan pembuktian bela negara yang pernah dilakukan sebagai wujud pengabdian kepada bangsa dan negara Indonesia ini. Adanya penetapan kriteria ini bukan bermaksud untuk membatasi hak asasi rakyat, hanya saja dengan adanya kriteria atau syarat ini diharapkan Indonesia memiliki pemimpin yang kompeten, amanah, dan mengabdi dengan setulus hati kepada bangsa dan negara hanya untuk kepentingan rakyatnya. Sebab, rakyat Indonesia sudah lelah akan janji-janji manis politisi, rakyat butuh seorang pemimpin yang mampu memimpin negara dengan masyarakat lebih dari 200 juta jiwa,dengan luas negara meliputi pulau dan lautannya serta pemimpin yang mampu mengolah negara dengan banyak kekayaan didalamnya hanya untuk menyejahterakan rakyatnya.

Comments

  1. Permasalahan money politic memang rasanya tak ada habis-habisnya. Mungkin karna masyarakat juga (sebenarnya) senang dengan money politic itu sendiri. Buktinya para calon pemilih tidak menolak ketika diberi uang... Mereka malah bahagia... Meski tak nentu mereka akan memilih calon yg memberi mereka uang, namun bukankah, tindakan menerima uang itu adalah sebuah wujud "pelegalisasian money politic" ?
    Menurut penulis, dan kawan-kawan gimana nih?? :D

    ReplyDelete
  2. ya nih nggi,,,, kalau di desa-desa malah lebih parah. apalagi di desaku...rata-rata warga memilih yang ngasih uang...padahal lho mereka nggak tau dan nggak hafal siapa calonnya... pokok asal milih,,,, yang penting dapat duit...lumayan... sulit memang kalau udah mendarah daging gini. apalagi watak orang desa yang kekeh dengan adatnya... ayo penulisnya mungkin mau menambahi? atau dari teman2 lain?

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Pemira FIS Ternodai

Indikasi Pemalsuan Syarat Pencalonan di HMJ Geografi Rabu (25/11) – Ketua Komisi Pemilihan Fakultas Ilmu Sosial (KPFIS), Junaidi, mengatakan   bahwa terjadi beberapa permasalahan pada serangkaian kegiatan Pemilihan Raya (Pemira) FIS. Salah satunya adalah i ndikasi pemanipulasian sertifikat ospek jurusan oleh Himpunan Mahasiswa Jurusan Geografi (HMJ Volcano) untuk wakil calon nomor 1, Rezra. ”Ada ketidakterimaan dari beberapa mahasiswa mengenai salah satu calon, gara-gara ada salah satu calon yang persyaratanya nggak tepat, menurut mereka. Contohnya sertifikat mbak, menurut sang pelapor itu palsu”, ujar Subur selaku Ketua KPFIS.

LPJ Ajarkan Korupsi pada Mahasiswa*

Jika kita membicarakan tentang korupsi memang tidak akan pernah ada habisnya. Dari siapa yang bertanggung jawab sampai bagaimana korupsi itu selau meracuni moral bangsa Indonesia. Banyaknya koruptor juga tidak lepas dari peran pendidikan yang ada pada jenjang sekolah ataupun pendidikan yang tertanam pada keluarga sejak kecil. Kebiasaan berbohong yang di ajarkan oleh para orang tua memicu salah satu bibit-bibit koruptor. Contohnya seperti ini, ada orang tua bilang ke anaknya “nak nanti kalau ada yang mencari mama, bilang yaa mama sedang keluar” padahal si mama sedang asyik-asyik menonton TV di dalam rumah. Secara tidak langsung sang mama mengajarkan berbohong pada si anak. Ketika anak terdidik untuk tidak jujur, maka kebiasaan ini akan membentuk karakternya, apalagi tanpa adanya landasan agama yang jelas.