Istilah korupsi bagi sebagian besar
masyarakat indonesia bukanlah sesuatu yang tabu untuk didengar. Istilah ini
begitu dekat dengan masyarakat Indonesia, mengingat gaung akan korupsi sendiri
telah bergema dari tingkat daerah sampai dengan pemerintahan pusat di ibu kota
negara Indonesia, Jakarta. Korupsi telah menggerogoti banyak lembaga
pemerintahan dan berbagai instansi di Indonesia. Sehingga tidaklah mengherankan
jika negara Indonesia masuk dalam penobatan lima negara terkorup tingkat dunia
yang diberikan oleh lembaga independen transparency.org berdasarkan hasil
survey yang dilakukan tahun 2013.
Korupsi di Indonesia sudah sangat
menjamur. Seperti menu makanan yang tersedia dalam berbagai variasi tingkatan.
Dari yang paling kecil sampai yang paling besar. Dari kelas teri yang remeh
temeh sampai kelas kakap yang menghabiskan jutaan bahkan triliyunan uang
negara. Banyak slogan – slogan bertebaran dijalan – jalan, “katakan TIDAK pada
korupsi”. Tapi nampaknya slogan-slogan tersebut sangat tidak berarti. Dianggap
angin lalu tanpa tindakan yang pasti.
Menelusuri rekam jejak korupsi di
Indonesia merupakan suatu untaian rantai yang tidak pernah putus. Saling
berkaitan satu dengan yang lainnya. Banyak spekulasi bermunculan mengenai
adanya korupsi ini. Jika diperhatikan secara lebih seksama, korupsi termasuk
kedalam warisan budaya Indonesia. Adanya sikap korupsi ini sudah melekat pada
masyarakat Indonesia sejak lama dan tanpa sadar meresap pada diri bangsa
Indonesia sendiri. Oleh karena itu setiap individu dari negara Indonesia
memiliki sikap untuk korupsi, hanya saja akhirnya melakukan korupsi atau tidak
bergantung pada kondisi dan individu masing-masing.
Kita dapat mengatakan Korupsi menjadi
warisan budaya Indonesia yang melekat tanpa sadar pada bangsa Indonesia sebagai
feed back dari tindakan indra yaitu
melihat, mendengar dan perilaku penguasa Indonesia. Sebagaimana kita ketahui
Indonesia telah mengalami berbagai macam pergantian sistem pemerintahan.
Kerajaan / monarki merupakan sistem yang sangat awal diterapkan. Pada masa ini,
masyarakat (rakyat) dituntut untuk patuh pada penguasa. Semua kendali negara
terletak pada penguasa (raja). Apapun yang raja titahkan, baik itu milik negara
ataupun milik rakyat harus secara sukarela diberikan kepada raja tanpa diperbolehkan
adanya perlawanan apapun. Pada masa ini rakyat “melihat”, kekuasaan adalah
segalanya sehingga mampu memenuhi apapun yang diinginkan. Seiring berjalannya
waktu, perjalanan korupsi di Indonesia terus bergulir.
Selanjutnya, Indonesia mengalami masa
sulit yang berkepanjangan yaitu pada masa penjajahan. Pada masa ini, rakyatpun
“melihat” kekuasaan sebagai alat pemenuhan “apapun” yang diinginkan.
Sebagaimana diketahui, pada masa ini rakyat adalah pihak yang paling dirugikan,
kekayaan dirampas, hak asasi manusia ditiadakan dan semuanya dipusatkan pada
pemenuhan kebutuhan pemegang kekuasaan tersebut. Menilik sejarah ini, tidak
mengherankan jika sampai dengan saat ini “kekuasaan” adalah yang sangat
diinginkan oleh semua orang. Tidak mengherankan jika pada masa demokrasi ini,
banyak orang yang berbondong-bondong datang menawarkan diri sebagai “calon
penguasa” negeri ini. Bukan amanah rakyat yang menjadi motivasi dasarnya, tapi
keinginan untuk “menguasai” demi mendapatkan apa yang diinginkan itulah asal
muasal utamanya.
Indonesia sebagai negara dengan sumber
daya alam yang sangat melimpah, menjadikan banyak orang menginginkannya. Bukan
hanya sebagian rakyat yang ingin berkuasa tapi juga banyak pula negara adidaya
yang menginginkan memiliki “kekuasaan” juga di Indonesia yaitu dengan penanaman
pengaruh yang besar di Indonesia. Melihat fakta ini, sudah seharusnya rakyat
Indonesia menyadari. Kekuasaan bukanlah alat yang digunakan untuk memperkaya
diri, tapi seharusnya dapat dijadikan alat yang mampu melindungi seluruh aset
dan kekayaan negeri ini.
Masih banyak hal yang harus dilakukan
sampai permasalahan korupsi ini dapat diselesaikan secara tuntas dan
benar-benar terselesaikan. Banyak pihak yang harus saling berpegangan tangan berkomitmen
untuk memberantas korupsi dan banyak lembaga yang harus dilibatkan dalam
penanaman rasa memiliki bersama, penanaman kejujuran, penanaman pengamalan dari
pancasila terutama sila pertama akan, “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Pemahaman
secara benar akan sila yang pertama diyakini akan sangat menekan angka korupsi
di Indonesia. Selain itu dapat juga diterapkan metode “3M”. Mulai dari diri sendiri, Mulai dari yang terkecil dan Mulai
dari sekarang. Dalam setiap kehidupan kita, membiasakan diri menghindari sikap-sikap
yang akan menuju pada tindakan korupsi. Karena sebagaimana kita ketahui
individu adalah komponen terkecil dari bangsa yang besar. Jika individunya baik
maka masyarakat kecil (keluarga) akan
baik, begitu pun seterusnya sehingga budaya korupsi dalam skala yang lebih
besar dapat ditiadakan karena masyarakatnya sudah semakin baik, semakin faham
dan semakin mendalami falsafah pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara
Indonesia. Sehingga akan tercipta suatu tatanan masyarakat yang selaras, saling
menjaga dan kekeluargaan sehingga tercipta keamanan, ketertiban dan kehidupan
sesuai dengan yang diharapkan.
Malang, 17 April 2014
*Rosyianah
Comments
Post a Comment