Semua
dari kita pasti setuju kalau yang namanya korupsi itu adalah perbuatan yang
jahat, karena merugikan orang banyak. Latar belakang pengucapan kata jahat itu
macam-macam. Misalnya saja, Pak Polisi, katanya korupsi itu melanggar hukum,
melanggar Undang-undang, melanggar KUHP, dan melanggar konstitusi. Pak kyai
bilang korupsi itu perbuatan berdosa, karena mencuri uang rakyat. Para koruptor
tidak punya landasan agama yang kuat, tidak takut Tuhan. Anak-anak sekolah gedek-gedek melihat orang-orang berkuasa
malah korupsi. Bagaimana mereka bisa menjadi contoh yang baik bagi anak-anak
bangsa. Sementaara bapak-bapak di desa mengeluh maraknya berita korupsi di
koran-koran sambil nongkrong di warung-warung kopi. Sementara ibu-ibu di
kampung berkeluh kesah pada tukang sayur. Sedangkan penyidik Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) dan penegak hukum lainnya dibuat pusing karenanya.
Anak-anak
sekolah dibuat bingung karena korupsi. Orang-orang dewasa dan pintar sibuk membikin
talkshow yang bertemakan korupsi. Di koran-koran, majalah, berita di televisi,
di radio, topik utamanya ya korupsi juga. Sungguh korupsi adalah berita yang
terus menerus nge-trend karena dari
dulu sampai sekarang kasus korupsi selalu menjadi berita yang hangat. Penyebab
utamanya tidak lain adalah para dalang dari korupsi ini sendiri terus menerus
membikin heboh dengan kasus-kasus dan skandal korupsinya. Lalu pertanyaannya,
apakah mereka tidak merasa kenyang-kenyang juga sampai saat ini dari uang
korupsi sehingga korupsi yang dilakukan tidak kunjung berhenti? Atau apakah
tidak ada sedikit saja rasa bersalah dan berdosa di hati mereka kepada
masyarakat?
Berbicara
pemberantasan korupsi di negeri ini, ada hal yang lucu. Pertama, upaya
pemberantasan korupsi ini justru membuat peluang bagi terciptanya pelanggaran
hukum yang baru. Pihak-pihak yang berwenang dalam penyelidikan dan penyidikan
kasus korupsi adalah pihak-pihak yang rawan penyuapan. Dari mulai kepolisian,
kejaksaan, kehakiman, bahkan KPK juga. Berapa banyak hakim yang terlibat dalam
kasus penyuapan yang dilakukan oleh para tersangka kasus korupsi yang tujuannya
tentunya agar para pesakitan itu dapat lepas dari jeratan hukum atau paling
tidak mendapatkan hukuman yang seringan-ringannya. Begitu juga kepolisian dan
kejaksaan, berapa banyak kasus-kasus yang tidak ditindaklanjuti dan dibiarkan
menggantung nasibnya. Sebenarnya apakah pihak-pihak ini sudah lelah dalam
mengurusi kasus korupsi, memberantas tindak pelangaran hukum, dan menegakkan
konstitusi. Atau apakah mereka memang tidak sanggup dalam menangani kasus-kasus
korupsi yang memang sangat banyak itu. Atau juga, jangan-jangan mereka telah dibungkam
oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Hal ini benar-benar aib bagi penegak hukum
kita. Kalau sudah begitu, yang senang adalah ya para terduga atau tersangka korupsi itu. Bejatkan?
Kedua,
salah satu lahan yang potensial untuk digarap para tukang korupsi adalah lahan
yang seharusnya begitu potensial dan dapat ditata serta dimaksimalkan dalam
upaya pencegahan korupsi itu sendiri. Lahan itu adalah bidang pendidikan.
Pendidikan yang seharusnya merupakan senjata untuk mencegah berkelanjutannya
budaya korupsi dan memutus mata rantai mafia pemalingan uang negara malah
dijadikan tempat yang empuk untuk melakukan korupsi. Sungguh terharu.
Mengutip
dari Kompas.com, berdasarkan data
dari Indonesia Corruption Watch (ICW) selama tahun 1999 sampai 2011, setidaknya
terdapat 233 kasus korupsi dalam dunia pendidikan yang telah masuk dalam proses
penyidikan, yang tentunya kasus tersebut sungguh merugikan negara dan penyidik
sudah mengantongi nama tersangka. Seluruh kasus-kasus tersebut ditangani oleh
tiga lembaga penegak hukum, yaitu kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Lebih
lanjut ICW menuturkan bahwa 57,4 persen dari kasus-kasus itu tidak jelas nasib
dan pengusutannya. Ini merupakan ironi dalam penegakan hukum kita.
Dari
data ICW tersebut, modus-modus yang digunakan dalam praktik korupsi di dunia
pendidikan ialah penyimpangan anggaran, mark up, dan penggelapan. Modus-modus
tersebut adalah yang paling sering ditemukan oleh penyidik. Anggaran untuk
kebutuhan pendidikan dengan jumlah nominal tertentu kerap kali disunat oleh
para pengelola anggaran pendidikan. Pengelola anggaran pendidikan ini urut dari
atas adalah Kementrian pendidikan dan kebudayaan, dinas pendidikan, serta
sekolah-sekolah.
Dunia
pendidikan kita tidaklah akan bersih dari praktik kotor korupsi kalau dari atas
atau dari pusat tidak dillakukan bersih-bersih dahulu. Baru kemudian
bersih-bersih dilakukan dalam dinas pendidikan dan sekolah-sekolah. Karena
bagaimana mungkin kebijakan-kebijakan yang diterapkan oleh pusat yang bertujuan
untuk mencegah dan menghentikan tindakan korupsi di dunia pendidikan kita akan berjalan
lancar atau efektif kalau di Kemendikbud sendiri pesta korupsi masih juga
berlangsung. Ironi sungguh.
Salah
satu contoh upaya pencegahan serta penghentian korupsi di dunia pendidikan
adalah sistem Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang direncanakan akan di
laksanakan secara nasional oleh pihak pusat (Kemendiknas). Nah, proyek ini
lantas bagaimana jalannya, kalau ternyata proyek pengentasan ironi korupsi di dunia
pendidikan ini malah dijadikan ladang baru bagi terbentuknya tindakan korupsi
(oleh pihak Kemendikbud sendiri). Namanya saja
proyek, di mana-mana ya rawan
korupsi.
Lantas,
dinas pendidikan adalah pihak yang juga berperan dalam pengelolaan anggaran
pendidikan dan juga penyambung nalar dari kebijakan-kebijakan atau sistem dari
Kemendikbud yang diterapkan ke sekolah-sekolah. Jangan sampai pula dinas
pendidikan korup juga orang-orangnya. Tapi sepertinya juga, dinas pendidikan
telah samapi korup orang-orangnya.
Kalau
sudah begitu lantas bagaimana nasib sekolah-sekolah kita? Sebagai sasaran utama
dari kebijakan anggaran pendidikan nasional, lebih khususnya lagi adalah
siswa-siswi, mereka adalah pihak yang paling dirugikan. Anggaran untuk
pembiayaan perbaikan atau pengadaan sarana prasarana sekolah akan jauh
berkurang atau bahkan mereka kehilangan jatah bantuan dari negara akibat
diselengkan dan digelapkan oleh (lagi-lagi) pihak pengelola anggaran baik
pusat, dinas pendidikan, maupun orang elit di struktur kepemimpinan sekolah.
Contohnya saja, Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk pengadaan buku dan komputer
serta dana BOS adalah dana-dana vital bagi sekolahan dan siswa-siswinya yang
justru menjadi objek yang paling banyak dikorupsi.
Sesungguhnya
masih banyak lagi ironi-ironi yang terjadi dalam proses penegakan hukum kita yang
utamanya dalam upaya pemberantasan korupsi yang demikian merajalela. Dari mulai
penegak dan penegakan hukum kita yang bandel dan tumpul, orang-orang yang korup
yang tidak tahu diri, tidak tahu tempat dan keadaan, dan tidak tahu arti
kemanusiaan, yang tidak mengindahkan nilai moral serta agama, yang tidak
mempunyai hati nurani, juga objek-objek yang digarap (dikorupsi). Semuanya
sungguh edan. Apakah harus rakyat ini
sampai tidak membayar pajak agar tidak ada uang negara yang dikorupsi? Atau
tidak usah mengadakan proyek-proyek agar menghindari mark up dan penyelewengan
dana? Apa hal itu mungkin? Saya rasa tidak.
Hal
ini tergantung penegakan dan penegak hukum kita. Penegakan hukum kita haruslah
tegas dan tajam pada kasus-kasus korupsi yang tak beradab dan tak bermanusiawi.
Jangan ada kata sungkan dan ragu untuk menghukum yang seberat-beratnya bagi
para koruptor yang kelewat bejat itu agar mereka jera dan kapok. Penegakan
hukum yang hebat tentunya juga didukung oleh para penegak hukum kita yang hebat
pula. Para penegak hukum yang kompeten, berdedikasi, kredibel, serta
profesional adalah kunci dari penegakan hukum kita. Kuatnya konstitusi yang ada
juga menjadi kunci penegakan hukum. Maka dari itu, semua pihak dari semua
lapisan masyarakat harus bekerjasama dalam pencegahan, penghentian, pengusutan,
serta penindakan kasus korupsi di Indonesia. Masyarakat dalam hal ini harus
menjadi pengawas bagi penegak hukum kita, serta melaporkan tindakan korupsi
yang diketahuinya. Sehingga penegakan hukum kita tidak kendor dan ikut-ikutan
menyeleweng.
*Ahlam Aliatul rahma
*Ahlam Aliatul rahma
Comments
Post a Comment