Skip to main content

Indonesia Mencari Pemilu yang Ideal Oleh Bahrudin Yusuf


Di tahun 2014 ini, Indonesia sedang dalam tahun politik. Pemilihan umum (Pemilu) yang diadakan tiap lima tahun sekali, kini kembali dilaksanakan. Pemilu tahun ini akan diikuti 12 partai yang telah lolos verifikasi dan ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Partai yang siap bersaing tersebut antara lain, Nasdem, PKB, PKS, PDI-P, Golkar, Gerindra, Demokrat, PAN, PPP, Hanura, PBB, dan PKP.

Diawali dengan pemilihan legislatif (pileg) pada 9 April 2014. Peserta Pileg 2014 adalah calon anggota DPR, DPD, DPRD tingkat provinsi, dan DPRD tingkat kota/kabupaten. Warga negara Indonesia yang memiliki hak pilih, akan secara langsung memilih para peserta pemilu tersebut melalui empat surat suara yang telah disediakan. Selanjutnya, pada bulan Juli, rakyat juga akan memilih calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) RI. Masing-masing Pasangan capres dan cawapres tersebut, merupakan pilihan yang diajukan oleh partai politik (parpol) maupun dari beberapa partai yang berkoalisi. Dalam pencalonannya, Parpol/koalisi parpol yang mengusung capres dan cawapres harus memenuhi syarat tertentu yang syarat tersebut ditinjau dari hasil  pemilihan legislatif.

Sedikit mengulas kembali perjalanan pemilu di Indonesia, bahwa sampai di tahun 2014 ini, pemilu sudah berjalan selama 11 kali. Pemilu pertama dilaksanakan di tahun 1955 untuk memilih anggota DPR dan konstituante. Kemudian, setelah perpindahan orde lama ke orde baru, pemilu kembali dilaksanakan pada tahun 1971. Di tahun ini peserta pemilu hanya diikuti dua parpol dan satu Golongan Karya. Hal ini dikenal dengan sisteml tripartai. Pemilu berlanjut di tahun 1977 berturut-turut sampai dengan 1997 di bawah pemerintahan Presiden Soeharto. Sistem tripartai masih berjalan selama itu dan pemenangnya tetap yaitu dari Golongan Karya. Kemenangan Golongan Karya selama itu disinyalir merupakan siasat dari pimpinannya, Soeharto. Namun setelah orde baru itu runtuh beserta pembesarnya, Soeharto, pemilu kembali diadakan di tahun 1999 dengan peningkatan jumlah peserta pemilu sebanyak 48 parpol (multipartai). Pemilu yang dilaksanakan di bawah pemerintahan Presiden Habibie ini, hanya bertujuan untuk memilih anggota MPR, DPR, DPRD sedangkan presiden dan wakilnya diangkat oleh MPR.

Tahun 2004 menjadi tahun pertama dilaksanakannya pemilu yang secara langsung memilih presiden dan wakilnya. Hal ini merupakan hasil dari amandemen keempat UUD 1945 tahun 2002. Kemudian adanya penyetaraan status badan Eksekutif dan Legislatif membuat posisi MPR dengan Presiden dan wakilnya sejajar. Sehingga, tidak memungkinkan kalau MPR mengangkat kembali Presiden beserta wakilnya.

Dari pembahasan sejarah singkat pemilu di atas, ada beberapa poin penting yang sebenarnya penting untuk dikritisi. Mengenai pilpres, antara pemilihan terwakilkan di mana presiden dan wakilnya dipilih oleh MPR atau dengan pemilihan secara langsung dari rakyat. Jika ditinjau dari segi demokratis, pemilihan secara langsung memang menjadi perwujudan arti ke-demokratis-an itu sendiri. Semua warga negara yang sudah memiliki hak pilih dapat secara bebas menentukan siapa pemimpin yang pantas memegang jabatan sebagai presiden atau wakil presiden.

Namun pada kenyataannya sekarang, jika ditinjau dari jumlah antara pemilih yang paham akan pilpres, politik, dan arti kepemimpinan itu sendiri masih kalah banding dengan pemilih yang awam akan semua hal tersebut. Para pemilih awam itu hanya sedikit memiliki gambaran detail mengenai sosok calon pemimpinnya. Mereka belum mempunyai kebijaksanaan yang kuat dalam mempertimbangkan calon-calonnya. Selama ini yang menjadi kekhawatiran adalah jika jumlah suara terbanyak itu berasal dari pemilih awam dan yang mendapat suara terbanyak adalah calon yang kurang berkompeten. Apalagi selama pemilu, calon tersebut melakukan banyak “permainan kotor” dalam berkampanye. Akan jadi seperti apa negara ini kalau dipimpin oleh pemimpin yang demikian? Apakah kebebasan berdemokrasi kurang cocok di Indonesia untuk saat ini, melihat SDM rakyatnya yang masih kurang berkompeten?

Kemudian, mengenai jumlah partai politik sebagai peserta pemilu. Peserta pemilu paling banyak selama sejarah Indonesia adalah sebanyak 48 parpol. Di tahun 2014 ini diikuti oleh 12 parpol. Hal ini memang menunjukkan tingginya antusiasme parpol dalam pesta demokrasi di Indonesia. Mereka saling berlomba-lomba mengusung capres dan cawapres dalam pemilu. Para calonnya pun sungguh fenomenal di kalangan masyarakat Indonesia. Namun, semakin banyak parpol yang ikut serta dalam pemilu, akan semakin banyak pula kepentingan yang ingin dicapai. Dan perlu diketahui, dari total anggaran dana pada perayaan pesta demokrasi tahun 2014 ini meningkat 1,3 T dari periode sebelumnya. Besar biaya keseluruhan mencapai 17 T. Angka yang cukup fenomenal pula, bukan?

Ketika era orde baru, pemilu berjalan dengan sistem tripartai. Pemimpin akan dipilih dari partai yang memang benar-benar mendominasi secara nasional dan pemilihan berlangsung efisien baik waktu dan biaya. Hal ini terlepas dari trik-trik Presiden Soeharto dulu tentang keberhasilannya menduduki tahta kepemimpinan Indonesia selama kurang lebih 32 tahun. Begitu pula di Amerika Serikat yang sejak awal kemerdekaannya hingga saat ini hanya didominasi dua parpol saja, yaitu Demokrat dan Republik. Namun, perkembangan pemilunya cukup baik dan sangat demokratis. Lalu, seperti apa demokrasi di Indonesia menanggapi jumlah Parpol pada pemilu? Tripartai atau multipartai?

Pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan oleh Indonesia mengenai pemilu ini yaitu, sistem pemilunya (proses pemilihan dan jumlah parpol), peningkatan kriteria caleg atau capres, dan peningkatan SDM dari para pemilih. Jika ketiga poin ini segera ditindaklanjuti, maka demokrasi di Indonesia akan benar-benar berjalan dengan baik.

Perjalanan pemilu Indonesia selama 11 tahun ini menuai banyak dinamika baik secara kualitas maupun kuantitas. Usaha KPU dan pemerintah Indonesia dalam pencapaian pemilu yang ideal, berjati diri, dan demokratis terus dilakukan. Tentu, menggapai sesuatu yang ideal itu bukan perkara mudah. Proses ini sama dengan proses pencarian jati diri pada anak usia remaja.


Semoga ada perubahan yang mendekati ideal pada pemilihan umum di tahun 2014 ini. Sebab, Indonesia sedang membutuhkan pemimpin yang benar-benar demokratis terhadap rakyat. Dan, pemimpin tersebut lahir dari pilihan masyarakatnya yang cerdas.

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Pemira FIS Ternodai

Indikasi Pemalsuan Syarat Pencalonan di HMJ Geografi Rabu (25/11) – Ketua Komisi Pemilihan Fakultas Ilmu Sosial (KPFIS), Junaidi, mengatakan   bahwa terjadi beberapa permasalahan pada serangkaian kegiatan Pemilihan Raya (Pemira) FIS. Salah satunya adalah i ndikasi pemanipulasian sertifikat ospek jurusan oleh Himpunan Mahasiswa Jurusan Geografi (HMJ Volcano) untuk wakil calon nomor 1, Rezra. ”Ada ketidakterimaan dari beberapa mahasiswa mengenai salah satu calon, gara-gara ada salah satu calon yang persyaratanya nggak tepat, menurut mereka. Contohnya sertifikat mbak, menurut sang pelapor itu palsu”, ujar Subur selaku Ketua KPFIS.

LPJ Ajarkan Korupsi pada Mahasiswa*

Jika kita membicarakan tentang korupsi memang tidak akan pernah ada habisnya. Dari siapa yang bertanggung jawab sampai bagaimana korupsi itu selau meracuni moral bangsa Indonesia. Banyaknya koruptor juga tidak lepas dari peran pendidikan yang ada pada jenjang sekolah ataupun pendidikan yang tertanam pada keluarga sejak kecil. Kebiasaan berbohong yang di ajarkan oleh para orang tua memicu salah satu bibit-bibit koruptor. Contohnya seperti ini, ada orang tua bilang ke anaknya “nak nanti kalau ada yang mencari mama, bilang yaa mama sedang keluar” padahal si mama sedang asyik-asyik menonton TV di dalam rumah. Secara tidak langsung sang mama mengajarkan berbohong pada si anak. Ketika anak terdidik untuk tidak jujur, maka kebiasaan ini akan membentuk karakternya, apalagi tanpa adanya landasan agama yang jelas.