Skip to main content

PEMBOIKOTAN PEMIRA DI FIK


Kamis (20/2) Komisi Pemilihan Umum (KPU) Universitas Negeri Malang (UM) menyelenggarakan pemungutan suara pemilu raya Presiden dan Wakil Presiden Mahasiswa UM. Pemungutan suara dilakukan pada setiap fakultas di UM.

Di Fakultas Ilmu Keolahragaan (FIK), tempat pemungutan relatif sepi. “Sampai jam 12.00 WIB, belum ada satu pun mahasiswa yang mencoblos,” demikian keterangan Indra, salah satu anggota KPU yang berjaga di tempat pemungutan suara FIK. Ketika ditanya tentang alasan pemungutan suara yang sepi, Indra mengaku tidak tahu menahu, sebab pihaknya hanya pelaksana. Indra menjelaskan bahwa Kasubag Kemahasiswaan dan Ketua BEM FIK sudah membantu menyuruh mahasiswa FIK untuk mencoblos. Namun, Hendro, Ketua BEM FIK mengaku tidak pernah menyuruh mahasiswa FIK untuk menggunakan hak pilihnya.

Beberapa mahasiswa FIK angkatan 2012 dan 2013 pun mengaku sama sekali tidak tahu kalau hari itu merupakan hari pemilihan umum. “Memangnya ini ada acara apa?” kata Fajar, salah seorang mahasiswa FIK. Beberapa mahasiswa yang lain mengaku tidak perlu mencoblos karena hanya ada calon tunggal, maka pasti satu itu akan terpilih.

Perihal pemilu raya tahun ini, Pepeng, mantan Ketua BEM FIK berkomentar bahwa mahasiswa FIK memang apatis sehingga KPU harusnya bergerak aktif mengajak mahasiswa untuk mencoblos. Namun, pada kenyataannya KPU pasif. “Publikasi nggak ada. Dan  aku jujur baru tahu tadi malam kalo hari ini ada coblosan”, ungkap Pepeng perihal pemilu raya yang sepi. “Mungkin kalau melihatnya ini bentuk kekecewaan”, tambah Pepeng.

Anggota KPU tidak ada yang berasal dari FIK. Mereka menganggap FIK sama sekali tidak dihargai. Ketika diundang untuk mengirimkan delegasi FIK pada Rabu (19/2) di Hotma, KPF FIK merasa tidak dihargai sebagai undangan. Ketika dua orang delegasi memenuhi undangan, justru pihak yang mengundang mengerjakan tugas dengan alasan tidak lulus jika tidak mengerjakan tugas. “Perwakilan KPU-ku gak ada sama sekali yang di KPU Pusat”, kata mantan Ketua KPU FIK. Hendro menambahi, “Padahal ada Wahyu Hasyim, salah satu mahasiswa dari FIK yang mendaftarkan diri di KPU Pusat, tetapi tidak ada konfirmasi sama sekali”.

Hendro menjelaskan, Kamis (20/2) pukul 09.00 WIB Wakil Dekan III menelepon serta menyampaikan bahwa baru saja diberi tahu ada pemilu raya dan disuruh mendampingi, namun Wakil Dekan III sedang berada di luar kota. “KPU di sini ini nggak legal. Dari pimpinan kami di fakultas tidak ada yang tahu, Mbak. Dekan saya baru tahu hari ini”, terang Hendro .

Pepeng pun menjelaskan bahwa Kasubag Kemahasiswaan dan Dekan tidak tahu menahu. Tidak ada surat legalitas, paling tidak untuk permisi masuk ke rumah orang, izin untuk menempati FIK. Ketika ditanyakan ke pihak fakultas, yang ada hanya surat izin meminjam alat meja dan kursi. “Harusnya kalau sudah ada persiapan jauh-jauh hari, tentunya semua sudah dipersiapkan terutama masalah administrasi. Kalau dosen-dosen dan pejabat-pejabat saja tidak tahu, bagaimana dengan mahasiswanya?” kata Pepeng tegas. “Jalan terbaik harus diulang”, katanya. Menurutnya aneh jika sekelas calon presiden mahasiswa hanya ada calon tunggal. (yna/gia)

Comments

Popular posts from this blog

Pemira FIS Ternodai

Indikasi Pemalsuan Syarat Pencalonan di HMJ Geografi Rabu (25/11) – Ketua Komisi Pemilihan Fakultas Ilmu Sosial (KPFIS), Junaidi, mengatakan   bahwa terjadi beberapa permasalahan pada serangkaian kegiatan Pemilihan Raya (Pemira) FIS. Salah satunya adalah i ndikasi pemanipulasian sertifikat ospek jurusan oleh Himpunan Mahasiswa Jurusan Geografi (HMJ Volcano) untuk wakil calon nomor 1, Rezra. ”Ada ketidakterimaan dari beberapa mahasiswa mengenai salah satu calon, gara-gara ada salah satu calon yang persyaratanya nggak tepat, menurut mereka. Contohnya sertifikat mbak, menurut sang pelapor itu palsu”, ujar Subur selaku Ketua KPFIS.

LPJ Ajarkan Korupsi pada Mahasiswa*

Jika kita membicarakan tentang korupsi memang tidak akan pernah ada habisnya. Dari siapa yang bertanggung jawab sampai bagaimana korupsi itu selau meracuni moral bangsa Indonesia. Banyaknya koruptor juga tidak lepas dari peran pendidikan yang ada pada jenjang sekolah ataupun pendidikan yang tertanam pada keluarga sejak kecil. Kebiasaan berbohong yang di ajarkan oleh para orang tua memicu salah satu bibit-bibit koruptor. Contohnya seperti ini, ada orang tua bilang ke anaknya “nak nanti kalau ada yang mencari mama, bilang yaa mama sedang keluar” padahal si mama sedang asyik-asyik menonton TV di dalam rumah. Secara tidak langsung sang mama mengajarkan berbohong pada si anak. Ketika anak terdidik untuk tidak jujur, maka kebiasaan ini akan membentuk karakternya, apalagi tanpa adanya landasan agama yang jelas.