Skip to main content

LIPUTAN KHUSUS PEMIRA 2014: KPU JANGGAL PANGKAL PEMIRA “ABAL-ABAL”



Salah satu dari sekian banyak fungsi kampus adalah menjadi tempat untuk belajar berdemokrasi. Kalau masyarakat ikut berpartisipasi dalam pemilihan umum (pemilu) memilih presiden dan wakil presiden serta anggota DPR, maka di kampus,mahasiswa dapat ikut berpartisipasi dalam kegiatan berdemokrasi misalnya saja melalui pemilu raya, yang diselenggarakan KPU ( Komisi Pemilihan Umum ) Universitas Negeri Malang (UM) untuk memilih pasangan  presiden dan wakil Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dan juga Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM).
Kegiatan ini merupakan miniatur kegiatan demokrasi yang selama ini di selenggarakan secara rutin dilakukan di kampus. Yang seharusnya mampu memupuk dan mengajarkan berbagai hal positif dimana para generasi muda melakukan proses pembelajaran dalam hal kepemimpinan dan berpolitik. Proses dimana mereka mencari ide-ide yang paling ideal menurut mereka, serta mencari solusi kongkrit segala problematika masyarakat kampus dalam hal ini mahasiswa. Bukan untuk mencari keuntungan golongan tersendiri untuk mencapai kepentingan salah satu golongan tersebut. Demokrasi yang dilakukan harus benar-benar murni tanpa harus memasukkan unsure kepentingan pribadi ataupun golongan kedalamnya.
Seperti tahun sebelumnya,tahun sekarangpun banyak terjadi keganjalan dalam proses Pemilu. Dimulai dari rapat-rapat yang molor dan masalah publikasi yang dilakukan pada hari H pendaftaran calon. Banyaknya suatu keganjalan yang terjadi pada saat proses Pemilu ini. Dimulai dari rapat perdana KPU yang seharusnya dilakukan tanggal 28 januari 2013 (menurut timeline awal) tapi justru diadakan pada tanggal 1 Februari, yang dimana pada tanggal tersebut seharusnya sudah dilaksanakan pendaftaran calon. Rapat perdana KPU diadakan didepan gedung PTIK secara lesehan dan terkesan kurang formal,dan hal ini hanya terjadi sampai rapat ke-3. Meskipun terkesan kurang formal, mereka tetap menghasilkan sebuah tata tertib KPU.  Meskipun rapat perdana molor sampai tanggal 1 Februari, hari pemungutan suara tetap dilaksanakan tanggal 17 Februari. Tapi selang beberapa hari kemudian hari pemungutan suara diundur hingga tanggal 20 Februari. Menurut Diki,  ketua Panitia Pengawas (Panwas) mengatakan bahwa KPU memang sangat mengejar deadline, karena untuk PEMIRA dikampus UM sangat terlambat. Oleh karena itu pendaftaran calon dilaksanakan pada tanggal 7-9 februari (sebelum diperpanjang). Saat diemui diruangannya Pak Cip, Wakil Rektor III (WR III) mengatakan “Kok aneh?” saat mendengar kabar pendaftaran calon yang hanya dilakukan tiga hari itu. Karena merasa batas pendaftaran begitu cepat pihak KPU memperpanjang pendaftaran calon hingga tanggal 11 Februari. Sehingga hal ini mempengaruhi kinerja anggota KPU yang seakan-akan kerja rodi untuk mengejar ketertinggalan mereka dalam menghadapi timeline yang telah mereka buat sebelumnya.
KPU melaksanakan pendaftaran calon pada hari dimana mahasiswa jarang ke kampus karena pada hari tersebut bukan hari efektif kuliah dan lagi publikasi pendaftaran dilakukan pada hari H yaitu pada Jumat tanggal 7 Februari sekitar jam 13.00 sehingga membuat mahasiswa kesulitan mendapatkan informasi masalah pendaftaran calon tersebut. Menurut hukum, harusnya publikasi dilakukan beberapa hari sebelum hari pendaftaran calon tujuannya agar publikasi tersebut menyebar kesemua mahasiswa dan juga mereka dapat mempersiapkan berkas-berkas yang dibutuhkan pada saat pendaftaran. Sedangkan Pak Cip berkomentar bahwa harusnya publikasi dilakukan dihari dimana banyak orang yang tau akan informasi tersebut. ”Nah kalo begini kan patut dipertanyakan kenapa dilakukan dihari itu hari dimana banyak mahasiswa yang pulang?” imbuhnya. Hal ini seakan-akan mereka tidak ingin mempublikasikannya dan juga seakan-akan pendaftaran itu dibuat oleh mereka dan untuk golongan mereka sendiri. Pada saat dikonfirmasi akan kebenaran publikasi yang dilakukan pada tanggal 7 februari kemarin yang dipublikasikan jam 1 siang dan kebenaran akan diundurnya proses pendaftaran hingga hari selasa tanggal 11 Februari kemarin, ketua panwas hanya mengatakan kurang lebih begitu.
           Terkait tanggal pemungutan suara dilaksanakan kapan, muncul beberapa pendapat yang berbeda dalam KPU. Menurut orang yang tidak ingin namanya disebut mengatakan bahwa pihak KPU mengatakan deadline pemira atau tanggal pemungutan suara telah ditentukan oleh pihak kampus yaitu orang-orang yang berada di rektorat. Sedangkan menurut ketua panwas KPU mengatakan bahwa tanggal pemungutan suara yang menentukan adalah KPU dan selanjutnya tanggal tersebut diajukan ke Pak Cip guna disetujui oleh beliau. Namun hal ini dibantah oleh Pak Cip, beliau berkata bahwa dirinya tidak pernah menentukan deadline tanggal pemungutan, beliau hanya menerima tanggal yang diajukan oleh KPU. “Jika kalian sudah mengajukan tanggal seperti itu maka tanggal segitu sudah harus selesai. Saya tidak pernah menentukan hari,tanggal, dan jadwal” ujar WR III  saat ditemui diruangannya.
Imbas dari ketidaksiapan KPU terlihat pada pada saat hari pencoblosan Kamis (20/02). Jam buka TPS yang molor, hingga kurang lebih satu jam dari biasanya yang jam 08.00, absennya tinta bukti telah mencoblos di FE (dengan alasan habis), hingga kertas penunjuk yang ditempelkan di kotak suara yang semestinya berwarna berbeda sesuai dengan warna surat suara untuk menunjukkan mana kotak suara untuk DPM dan BEM. Contohnya di FS dan FIS, awak Siar menemui beberapa pemilih yang terlihat bingung dan hampir keliru memasukkan surat suara ke kotak suara yang ditentukan. Hingga membuat beberapa kali petugas KPU mengingatkan “Yang putih itu BEM.”
Ketidaksiapan lainnya tampak dari publikasi pada calon pemilih yang hampir tak terdengar gaungnya. Akibatnya para mahasiswa bahkan tak mengenal calon Presidennya. Tak ayal, ketika Selasa (18/02) calon melakukan kampanye dimasing-masing fakultas, calon Presma malah terkesan “ngomong sendiri” tanpa gubrisan antusiasme para mahasiswa.  Sehingga tak aneh rasanya jika pada pencoblosan banyak dari mahasiswa yang tak menyalurkan suaranya di bilik-bilik suara yang disediakan. Siar bahkan menemukan banyak surat-surat suara yang masih bertumpuk.
 Untuk diketahui, pada Pemira kali ini, KPU melakukan publikasi hanya dengan menyebarkan pamflet seukuran poster masing-masing satu per fakultas, video di youtube,  akun group facebook dan mulut ke mulut. “Per fakultas itu dapat satu pamflet, terus kita ada sosialisasi pakai video, sama facebook juga,” jelas Fia, divisi Soskom (Sosialisasi dan Komunikasi) KPU. Ketika ditanya apakah ada sosialisasi tambahan seperti memasang banner di tiap fakultas, Fia mengaku tidak ada. “Itu saja,” tegasnya. Dirinya mengaku hal itu dilakukan karena minim dan mepetnya waktu.
Sedangkan kita tahu setiap bahwa mahasiswa UM berjumlah ribuan . Tentu hal ini tak sebanding. Tak ayal, banyak dari mahasiswa yang tak tahu menahu soal Pemira. “Pemira? Aku nggak dengar apa-apa ih. Emang ada?” ujar Tari salah satu mahasiswa yang ditemui di sekitar gedung FS. Ironisnya, bahkan beberapa dari mereka tak tahu wajah si calon Presma, “Aku wajahnya aja loh nggak tahu. Emang siapa? Darimana?” tanya Septa salah satu mahasiswa Sastra Inggris ketika ditanya perihal Pemira.
Dan soal calon tunggal sebagai pemicu apatisnya mahasiswa untuk memilih, juga diakui oleh Januar, petugas KPU yang bertugas di TPS FIS. “Iya, ini mungkin karena calon tunggal juga, Mbak.”  Hal ini mungkin wajar, karena calon tunggal menyiratkan adanya praktek demokrasi yang cacat. Barangkali mereka tidak ingin untuk ikut andil dalam kecacatan itu. (lia/gia/yna )

Comments

Popular posts from this blog

Pemira FIS Ternodai

Indikasi Pemalsuan Syarat Pencalonan di HMJ Geografi Rabu (25/11) – Ketua Komisi Pemilihan Fakultas Ilmu Sosial (KPFIS), Junaidi, mengatakan   bahwa terjadi beberapa permasalahan pada serangkaian kegiatan Pemilihan Raya (Pemira) FIS. Salah satunya adalah i ndikasi pemanipulasian sertifikat ospek jurusan oleh Himpunan Mahasiswa Jurusan Geografi (HMJ Volcano) untuk wakil calon nomor 1, Rezra. ”Ada ketidakterimaan dari beberapa mahasiswa mengenai salah satu calon, gara-gara ada salah satu calon yang persyaratanya nggak tepat, menurut mereka. Contohnya sertifikat mbak, menurut sang pelapor itu palsu”, ujar Subur selaku Ketua KPFIS.