Oleh: Muhammad Nur Fahmi*
Masyarakat
sering kali heran dan bertanya-tanya, mengapa kondisi politik semrawut dan
agenda penegakan hukum semakin merosot? Padahal esensi dari kata “politik” itu
sendiri menurut Komarudin Hidayat (2014) adalah untuk menciptakan ketertiban,
keamanan, dan kesejahteraan hidup warganya. Hal tersebut kiranya menjadi sebuah
problematika yang sangat kompleks untuk dipecahkan. Apakah memang kesemarawutan
kondisi politik ini disebabkan akibat kurangnya pemahaman para “subjek” politik
terhadap esensi politik itu sendiri atau mayoritas masyarakat di negeri ini
hanya berperan sebagai “objek” politik semata.
Menurut Desinta salah satu dosen jurusan HKN (Hukum
Kewarganegaraan) Universitas Negeri Malang mengatakan bahwa “dalam dunia
politik masyarakat memiliki peran ganda yakni sebagai subjek dan objek
politik.” Sebagai subjek masyarakat merupakan pemegang peran penting dalam
mengawasi dan menjalankan politik. Sedangkan sebagai objek masyarakat adalah
kelompok yang diatur dalam sebuah sistem politik itu sendiri. Dewasa ini dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara mayoritas masyarakat hanya berperan sebagai
objek politik semata. Hal tersebut memang menjadi sebuah dilema, karena apabila
masyarakat hanya berperan sebagai objek politik maka masyarakat akan terus
dijadikan “kerbau politk” oleh segelintir orang yang menjadi elit politik.
Sangat disayangkan memang apabila mayoritas masyarakat hanya
dijadikan sebagai objek politik. Muncul sebuah pertanyaan apa yang menjadikan
pandangan pasifisme muncul dalam masyarakat ketika menyoal masalah politik?
Padahal menurut Komarudin Hidayat Kebutuhan masyarakat pada politik tak ubahnya kebutuhan
masyarakat pada sandang, papan, kesehatan, dan keamanan. Selain itu kita tahu
bahwa kedaulatan tertinggi berada ditangan rakyat, sehingga seharusnya rakyat
harus menjadi subjek utama dalam dunia politik.
Apakah pandangan pasifisme yang
muncul dalam masyarakat disebabkan masayarakat tidak mengerti atau acuh tak acuh
dalam hal politik? Asumsi tersebut kiranya akan muncul dibenak kita apabila
melihat kehidupan berpolitik akhir-akhir ini. Kehidupan berpolitik yang
semrawut karena sikap, pengetahuan dan pandangan masyarakat yang masih kurang
menurut Desinta disebabkan karena rendahnya kesejahteraan ekonomi dan rendahnya
kesadaran dalam berpolitik.
Kondisi Ekonomi yang semrawut dengan
tingginya harga-harga barang karena inflasi menyebabkan biaya hidup masyarakat
meningkat. Tak ayal kondisi tersebut membuat masyarakat lebih mementingkan
pemenuhan kebutuhan ekonominya dibandingkan dengan berpolitik. Selain itu
kesadaran akan pentingnya seorang pemimpin yang baik dirasa kurang dalam
masyarakat. Hal itulah yang menyebabkan kurangnya kesadaran masyarakat dalam
berpolitik.
Menyoal rendahna antusisas
masyarakat dalam berpolitik seharusnya sudah saatnya digalakkan pendidikan
politik dalam masyarakat, agar tak ada lagi politik negatif seperti black
campaign dan money politic yang dapat merugikan masyarakat. Poltik
negative seperti black campaign dan money politic disebabkan oleh
budaya “sungkanisme” masyarakat tutur Desinta. Budaya ini adalah rasa tidak
enak hati ketika sudah diberi uang atau tidak enak ketika tidak memilih
tetangga dekatnya.
Pendidikan politik tak lagi harus dilakukan dalam pendidikan
formal seperti mengambil kuliah jurusan ilmu politik dan atau sebagainya.
Sebenarnya, sejak dari proses pembentukan partai politik, kampanye mengenalkan
visi, misi, program, dan tokoh-tokohnya, semua itu merupakan pembelajaran
politik yang amat berharga bagi rakyat. Dalam hal ini, peran media baik media
cetak maupun elektronik sangat fenomenal. Rakyat semakin akrab dengan wajah
politisi nasional, dari partai politik (parpol) mana, bagaimana gaya bicaranya
serta etikanya waktu berdebat dan berbagai aspek lain. Selain partai politik
dan media sebenarnya pendidikan politik juga merupakan tanggung jawab
masyarakat itu sendiri, utamanya masyarakat intelektual dalam hal ini mahasiswa
yang mengerti masalah politik. “Pendiddikan politik tak harus dengan
menerangkan ilmu berpolitik, kita mengajak seseorang untuk tidak golput itupun
sudah salah satu bentuk pendidikan politik.” Tutur Desinta.
Pendidikan
politik pada dasarnya tidak harus selalu diberikan melalui mata pelajaran
politik ataupun mata kuliah ilmu politik. Namun lebih jauh dari pada itu, bahwa
pendidikan politik dapat diberikan dalam proses interaksi dan aktivitas lain di
semua institusi pendidikan. Pendidikan politik tidak harus diberikan melalui
kegiatan pembelajaran formal di kelas. Meskipun demikian tetap saja untuk
memberikan dasar-dasar pemahaman teori-teori dan proses dinamika politik dapat
pula diberikan melalui mata pelajaran PKn dan Sejarah di SMA serta mata kuliah
ilmu politik di fakultas ilmu sosial dan ilmu politik. Namun, untuk memberikan
pendidikan politik yang lebih luas dapat diberikan melalui proses interaksi dan
aktivitas ekstrakurikuler di sekolah maupun perguruan tinggi.
Ketika siswa
atau mahasiswa berinteraksi antar sesamanya, disadari atau tidak, diakui atau
tidak, sesungguhnya mereka telah melalui proses pendidikan politik. Terlebih
melalui kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler di sekolah maupun perguruan
tinggi—siswa maupun mahasiswa berinteraksi secara intensif dalam sebuah wadah
organisasi tertentu yang didalamnya setiap individu secara alamiah akan
mengalami proses pendidikan politik melalui organisasi yang menaungi aktivitas
ekstrakurikuler masing-masing. Dengan organisasi tersebut, siswa dan mahasiswa
akan belajar bagaimana menjadi insan politik dalam lingkup yang lebih sempit.
Keterlibatan siswa dan mahasiswa dalam sebuah organisasi akan melatih siswa dan
mahasiswa dalam memahami dan mengaplikasikan nilai-nilai politik sebagai bagian
dari dinamika politik dalam cakupan yang lebih luas dalam kehidupan politik
praktis.
Dengan
memberikan pendidikan politik di institusi pendidikan, bukan berarti kemudian
melegalkan praktek politik praktis di institusi pendidikan, karena institusi
pendidikan bukan tempat untuk berpolitik praktis. Pendidikan politik yang
diberikan di institusi pendidikan hanya sebatas untuk memberikan pengetahuan
dan pemahaman politik yang baik dan benar dalam rangka membentuk kesadaran
politik atas pemilih pemula yang dalam hal ini adalah siswa dan mahasiswa.
Dengan demikian, permasalahan politik dalam generasi muda dapat diatasi dengan
memberikan pencerdasan politik yang baik melalui pendidikan politik. Akan
tetapi memang yang harus paling bertanggung jawab dalam pendidikan politik
adalah parpol dan media. Apalagi saat ini rata-rata parpol juga memiliki media
sehingga pendidikan politik harusnya lebih muda dilakukan.
Jadi, kalau satu dasawarsa terakhir ini merupakan bab yang
menyajikan contoh politik amburadul, kapan rakyat diajak memasuki bab baru
tentang politik yang rasional, etis, dan sehat? Yang juga ikut bertanggung
jawab menyusun dan menyajikan kurikulum dan materi pembelajaran politik bagi
rakyat adalah pemilik media yang juga merangkap ketua parpol. Mereka telah
berjasa menyajikan ruang kelas terbuka bagi publik tentang ragam teori dan
praktik politik di Tanah Air. Pengelola media mesti ikut mencerdaskan rakyat
dan menjaga etika penyiaran dan penerbitan.
*Penulis adalah mahasiswa pendidikan Geografi yang aktif di
LPM Siar.
Comments
Post a Comment