Skip to main content

Editorial: Antara Demokrasi dan Mahasiswa Hari Ini



Oleh:
Mutia Husna Avezahra*

Peran mahasiswa sepanjang perjalanan sejarah Bangsa Indonesia adalah sangat berharga untuk kita pelajari serta kita maknai sebagai seorang mahasiswa hari ini. Memang, terdapat jurang menganga antara  mahasiswa zaman dulu dan mahasiswa zaman sekarang yang memicu pertanyaan eksistensi dan kontribusi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara pada mahasiswa masa kini.

Sebut saja soal ber-demokrasi pada level kampus kita tercinta. Sepertinya, kita masih harus terus belajar bagaimana mewujudkan demokrasi secara praktikal dan esensial, mengingat terdapat ketimpangan yang kita rasakan di sana-sini. Banyak sekali yang akan kita keluhkan mulai dari soal menjamurnya mahasiswa yang apatis sekaligus pragmatis sampai soal detail-detail peran jajaran wakil mahasiswa yang terlampau sibuk mengibarkan bendera partainya. Itu semua adalah akibat konstruksi demokrasi yang belum kuat mencengkeram akar-akar substansi kehidupan mahasiswa.

Lalu, kiranya mengapa definisi demokrasi di kampus kita (hanya) sampai pada pemungutan suara belaka? Bahkan hal itu pun masih sebatas euforia gairah partisipasi yang terbilang rendah. Demokrasi adalah cermin yang tidak kelihatan. Jika wajah demokrasi sedemikian lemahnya, maka mahasiswa akan terlampau sering berjalan dalam keruwetan yang melelahkan. Kemudian, kita akan muak mendapati kawan kita yang tak acuh lantaran terlalu terobsesi dengan indeks prestasi. Kita juga muak atas kawan-kawan yang hatinya sudah mati, karena ketidakpedulian telah membunuh rasa kepekaan terhadap lingkungan maupun keadaan. Kita juga akan muak pada otoritas jajaran eksekutor mahasiswa yang menjadi banci berhadapan dengan kepentingan antar golongan. Barangkali terdapat krisis kepercayaan antara satu pihak dan pihak lain yang belum ditumbuhkan melalui tanggung jawab moral sehingga mengakibatkan mahasiswa saling berprasangka, kekuasaan mudah disetir, dan susah mencapai koherensi yang stabil.

Tidak mudah memang untuk mengikhtisarkan bagaimana demokrasi dapat berjalan sesuai cita-cita yang kita harapkan. Tapi, jika kita enggan belajar dan berbenah, enggan saling menumbuhkan kepercayaan dan enggan menyuburkan tanggung jawab, pada akhirnya kita hanya akan terus-terusan tersandera oleh keadaan.

*Penulis adalah pegiat di Lembaga Pers Mahasiswa Siar

Comments

Popular posts from this blog

Pemira FIS Ternodai

Indikasi Pemalsuan Syarat Pencalonan di HMJ Geografi Rabu (25/11) – Ketua Komisi Pemilihan Fakultas Ilmu Sosial (KPFIS), Junaidi, mengatakan   bahwa terjadi beberapa permasalahan pada serangkaian kegiatan Pemilihan Raya (Pemira) FIS. Salah satunya adalah i ndikasi pemanipulasian sertifikat ospek jurusan oleh Himpunan Mahasiswa Jurusan Geografi (HMJ Volcano) untuk wakil calon nomor 1, Rezra. ”Ada ketidakterimaan dari beberapa mahasiswa mengenai salah satu calon, gara-gara ada salah satu calon yang persyaratanya nggak tepat, menurut mereka. Contohnya sertifikat mbak, menurut sang pelapor itu palsu”, ujar Subur selaku Ketua KPFIS.

LPJ Ajarkan Korupsi pada Mahasiswa*

Jika kita membicarakan tentang korupsi memang tidak akan pernah ada habisnya. Dari siapa yang bertanggung jawab sampai bagaimana korupsi itu selau meracuni moral bangsa Indonesia. Banyaknya koruptor juga tidak lepas dari peran pendidikan yang ada pada jenjang sekolah ataupun pendidikan yang tertanam pada keluarga sejak kecil. Kebiasaan berbohong yang di ajarkan oleh para orang tua memicu salah satu bibit-bibit koruptor. Contohnya seperti ini, ada orang tua bilang ke anaknya “nak nanti kalau ada yang mencari mama, bilang yaa mama sedang keluar” padahal si mama sedang asyik-asyik menonton TV di dalam rumah. Secara tidak langsung sang mama mengajarkan berbohong pada si anak. Ketika anak terdidik untuk tidak jujur, maka kebiasaan ini akan membentuk karakternya, apalagi tanpa adanya landasan agama yang jelas.