Skip to main content

Kesadaran yang Hilang di Pemilu Sastra 2013

Musim pemilu mulai bersemi di berbagai perguruan tinggi, khususnya di Universitas Negeri Malang sendiri. Ajang pemilu tahun ini seharusnya menjadi tempat bagi para mahasiswa untuk bisa menyampaikan haknya dengan memilih kandidat yang telah disesuaikan dengan hati nurani masing-masing.
            Namun hal sebaliknya malah terjadi di Fakultas Sastra UM. Jumlah pemilih yang menggunakan hak suaranya di Pemilu Sastra 2013 tergolong sangat sedikit. Berbagai faktor bermunculan terkait rendahnya partisipasi “warga Sastra” di ajang pemilu tahun ini.
            Menurut salah seorang yang berkutat di dalam Pemilu Sastra 2013, Bagus Nova, mengatakan,”Kami sudah usahakan yang terbaik dengan memasang banner di beberapa gedung penting di Fakultas Sastra, semisal D7-D8 dan Q3. Selain banner, kami juga menempelkan beberapa selebaran di papan pengumuman yang tersebar di fakultas. Kami juga sudah mendirikan TPS di berbagai gedung di FS, hanya saja mereka kemungkinan sedikit malas untuk nyoblos karena regulasi tahun ini berbeda dengan tahun kemarin dan kemungkinan kita juga kurang intensif sih di media cetaknya”
            Pemilu Sastra tahun ini, menurut Bagus, memiliki regulasi yang sedikit berbeda dengan pemilu tahun 2012. Berbagai TPS yang didirikan tidak bisa langsung menerima pemilih dari berbagai lintas jurusan dalam Fakultas Sastra. “Emang tahun ini agak beda karena nggak semua pemilih bisa ke TPS sesuka hatinya. Contohnya TPS di gedung Q3 emang dikhususkan untuk anak-anak jurusan Sastra Inggris dan Sastra Jerman. Selain dari kedua jurusan itu, mereka harus nyoblos di area D8 atau E8.” Hal inilah yang menurutnya menjadi alasan mengapa tingkat partisipasi pemilih dirasa kurang.
            Sebagai contoh, di Jurusan Satra Inggris terdapat lebih dari 400 pemilih yang teregistrasi dan ketika hari pemilu tiba, hanya ada sekitar 130 pemilih yang menggunakan hak suaranya. Hal ini menjadi lebih ironis ketika sebuah berita beredar jika KPU Sastra mencoba ‘membatasi’ kampanye yang harusnya dilakukan oleh masing-masing kandidat melalui dunia maya beberapa hari sebelum Pemilu Sastra dihelat pada 10 Desember 2013.
            Bagus Nova, Koordinator Divisi Pemungutan dan Penghitungan Suara KPU Sastra, berkilah jika hal ini dilakukan untuk membatasi kampanye oleh masing-masing kandidat. “Sebenarnya hal ini dilakukan lebih karena anggapan kami jika (kampanye) itu dilakukan lewat dunia maya, kami mengkhawatirkan adanya kampanye yang bersifat SARA dan hal itu sulit bagi kami untuk memonitor secara langsung.”

            Ketika ditanya mengenai langkah-langkah apa saja untuk menarik perhatian para pemilih di Fakultas Sastra, ia mengatakan sudah melakukan yang terbaik bersama rekan-rekannya untuk menyadarkan para pemilih tentang betapa pentingnya suara mereka. Salah satu cara yang mereka tempuh adalah membagikan doorprize bagi 15 pemilih pertama. Meski begitu, tingkat partisipasi di Fakultas Sastra untuk turut andil dalam pemilu tahun ini masih saja tidak mencapai target yang diharapkan. Semoga saja, KPU Sastra mempunyai cara-cara lain yang lebih nyata dan menarik agar para pemilih mau menyumbangkan hak suaranya. (hel/aft)

Comments

  1. Sebenarnya banyak warga sastra yang tidak tahu akan adanya pemilu ini, terlebih kampanye dilaksanakan di halaman D7 dan D8 yang tidak semua mahasiswa kuliah di situ. Kalau kampanye non-orasi dibatasi, warga sastra sendiri bakal ogah-ogahan "nyoblos" lhawong pada nggak tau yang nyalon siapa kok. Begitu kira-kira pendapat saya min. :)

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Pemira FIS Ternodai

Indikasi Pemalsuan Syarat Pencalonan di HMJ Geografi Rabu (25/11) – Ketua Komisi Pemilihan Fakultas Ilmu Sosial (KPFIS), Junaidi, mengatakan   bahwa terjadi beberapa permasalahan pada serangkaian kegiatan Pemilihan Raya (Pemira) FIS. Salah satunya adalah i ndikasi pemanipulasian sertifikat ospek jurusan oleh Himpunan Mahasiswa Jurusan Geografi (HMJ Volcano) untuk wakil calon nomor 1, Rezra. ”Ada ketidakterimaan dari beberapa mahasiswa mengenai salah satu calon, gara-gara ada salah satu calon yang persyaratanya nggak tepat, menurut mereka. Contohnya sertifikat mbak, menurut sang pelapor itu palsu”, ujar Subur selaku Ketua KPFIS.

LPJ Ajarkan Korupsi pada Mahasiswa*

Jika kita membicarakan tentang korupsi memang tidak akan pernah ada habisnya. Dari siapa yang bertanggung jawab sampai bagaimana korupsi itu selau meracuni moral bangsa Indonesia. Banyaknya koruptor juga tidak lepas dari peran pendidikan yang ada pada jenjang sekolah ataupun pendidikan yang tertanam pada keluarga sejak kecil. Kebiasaan berbohong yang di ajarkan oleh para orang tua memicu salah satu bibit-bibit koruptor. Contohnya seperti ini, ada orang tua bilang ke anaknya “nak nanti kalau ada yang mencari mama, bilang yaa mama sedang keluar” padahal si mama sedang asyik-asyik menonton TV di dalam rumah. Secara tidak langsung sang mama mengajarkan berbohong pada si anak. Ketika anak terdidik untuk tidak jujur, maka kebiasaan ini akan membentuk karakternya, apalagi tanpa adanya landasan agama yang jelas.