Skip to main content

Perubahan Fungsi Lahan dan Zonasi Pariwisata di Sumber Maron, Karangsuko, Kabupaten Malang

Perubahan Fungsi Lahan dan Zonasi Pariwisata
di Sumber Maron, Karangsuko, Kabupaten Malang
*Oleh Muhammad Asyrofi Al-Kindy
 
Picture by: dolandolen.com

Perkembangan pariwisata dari masa ke masa menunjukan peningkatan  yang drastis, hal ini dipengaruhi oleh tingkat pendapatan masyarakat yang semakin membaik pasca krisis  ekonomi  tahun 1998, secara tidak langsung pariwisata telah menjadi kebutuhan  dasar yang  mengglobal serta bagian dari hak asasi yang harus dihormati dan dilindungi (Yoeti: 2008).

Pariwisata juga telah berkembang sebagai salah satu tulang punggung utama perekonomian  Indonesia. Dalam masa perdagangan bebas seperti saat ini, segala komponen  yang dimiliki sebuah negara, memiliki daya jual yang harus dikembangkan.

Namun, pariwisata bagaikan pisau bermata dua, di sisi lain bisa menguntungkan dan juga merugikan, terutama dalam permasalahan lingkungan, seperti berubahnya fungsi lahan yang cenderung mengarah pada degradasi. 

Pemanfaatan Lahan di sekitar Sumber Maron
Topografi  Desa  Karangsuko  bervariasi  antara  datar  di  sebelah  utara  dan  timur  serta lembah  memanjang  Sungai  Bureng  di  sebelah  barat  dan  selatan.  Pemukiman  penduduk terletak  di  daerah  yang  datar,  sedangkan  daerah  di  sekitar  lembah  digunakan  sebagai daerah pertanian.

Sumber  air  bersih  di  wilayah  bertopografi  datar  sangat  sulit  ditemukan,  sehingga warga mencari air pada bagian barat desa. Pengambilan air pada awalnya dilakukan secara  manual  diangkut  dari  bawah  ke  atas  menggunakan  tenaga  manusia,  karena  dirasa kurang  efektif  dan  tidak  menjangkau  seluruh  desa,  penduduk  membangun  dongki (pompa  air tradisoinal) yang bertenaga air. Seiring  berjalannya waktu  karena pompa  yang  ada tidak mengimbangi jumlah pengguna air, diputuskan untuk membangun pompa air bertenaga listrik  yang  didanai  pemerintah  melalui  program  Water  and  Sanitation  for  Low  Income Communities-2. Pada  awalnya  listrik  yang  digunakan  langsung  dari  gardu Perusahaan Listrik Negara, namun  karena  biaya  operasional  bulanan  tidak  berimbang  dengan  pemasukan  yang  ada, munculah ide untuk membangun Pembangkit Listrik Mikrohidro. 

 
Picture by: istanabundavian.com 
 

Ide tersebut, direalisasikan  oleh  mahasiswa Kuliah Kerja Nyata Universitas  Muhammadiyah  Malang. Mereka membangun  pembangkit itu pada tahun 2012 dan mulai beroperasi penuh pada tahun 2013. Sejak  saat  itulah, terjadi  perubahan  masif  di  area  Sumber  Maron.  Pembangkit  Mikrohidro bertenaga 35 KWA ini dalam operasionalnya membutuhkan bendungan air. Pada saat sumber itu dibendung, timbulah danau kecil di sekitar Sumber Maron, serta memperlambat debit air yang keluar dari sumber, sehingga menyebabkan air terjun kecil di barat sumber menjadi mudah di akses.

Perubahan-perubahan  itu,  dimanfaatkan oleh penduduk  Sumber Maron  sebagai  tempat  rekreasi,  diiringi  dengan  pertumbuhan  kegiatan  ekonomi  di sekitarnya. Mula-mula  kegiatan  perekonomian  ini  terpusat  di  sebelah  timur, dekat  dengan  pemukiman  penduduk.  Sejalan  dengan  semakin  ramainya  Sumber  Maron sebagai  tempat  rekreasi,  kegiatan  perekonomian  menjalar  ke  barat,  ke  lokasi  dekat  sumber dan air terjun, kegiatannya semakin bervariasi, antara lain warung, penyewaan ban, dan toko-toko suvenir.

Disinilah degradasi mulai terjadi, warga berlomba-lomba mendulang keuntungan dari ramainya  wisatawan.  Banyak  area  persawahaan  yang  beralih  fungsi  menjadi  warung  dan penyewaan ban, bahkan beberapa dari mereka membangun bangunan semi-permanen di atas air terjun. Tata ruang di sekitar Sumber Maron menjadi tidak beraturan, pemandangan yang dulunya hijau, kini berganti hamparan warung-warung penduduk.

Zonasi kawasan pariwisata Sumber Maron
Sumber  Maron  merupakan  natural  tourism (pariwisata  berbasis  alam).  Degradasi  pemanfaatan  lahan  di  sekitar  Sumber  Maron  jika  dibiarkan,  akan  menimbulkan  dampak-dampak  buruk  yang  menurunkan  kualiatas  lingkungan  di  sekitarnya,  sekaligus menurunkan  kualitas  pariwisata  di  daerah  itu.  Oleh  karena  itu,  dibutuhkan zonasi area di sekitar Sumber Maron, agar keberlanjutannya tetap terjaga.

Zonasi atau zoning merupakan pengelompokan unsur-unsur yang mempunyai peranan fungsi  yang sama  (Widyastuti:2010).  Jika diterapkan dalam konsep pariwisata, zonasi akan mengelompokan  area-area  di  daerah  wisata  yang  memiliki  fungsi  atau  value (nilai)  yang sama, dan memberikan batasan terhadap penggunaan lahan di dalamnya.

Zonasi berdiri di atas 4 asas utama, yakni:
a.  Pemanfaatan  potensi  alam  dan  budaya   masyarakat  sesuai  daya  dukung  dan daya tampung lingkungan;
b.  Perlindungan terhadap situs peninggalan kebudayaan masa lampau;
c.  Pembatasan pendirian bangunan hanya untuk menunjang kegiatan pariwisata;
d.  Ketentuan pelarangan pendirian bangunan selain yang dimaksud pada huruf c.

Penetapan  zoning  juga  selalu  berorientasi  kepada  aktivitas  manusia  di  sekitar  area  tersebut  (Wahab:1992).  Sistem  ini,  akan  memberikan  pengarahan  dalam  menentukan  letak massa bangunan  (pemanfaatan lahan) secara fisik, sehingga kontrol terhadap tata ruang area di sekitar daerah wisata bisa terlaksana. Penerapan  zonasi  pada  Sumber  Maron,  bisa  di  laksanakan  dengan  membagi  area tersebut menjadi tiga, antara lain:
a.  Sanctuary Zone (Zona Inti),  merupakan main attraction (destinasi utama) dari tempat  wisata,  yang  meliputi  Sumber  Maron,  air  terjun  kecil,  sungai  yang bersumber dari Sumber Maron dan sungai yang melintasi daerah disekitarnya.
Zona ini dilarang untuk dimasuki wisatawan  serta pembanguan pada area ini juga  sangat  dibatasi,  kecuali  untuk  fasilitas  vital  seperti  pembangkit  listrik  mikrohidro.
b.  Buffer  Zone  (Zona  Penyangga) merupakan  berfungsi  memisahkan  zona  inti  dengan  aktivitas  dan  fasilitas  pendukung,  area  ini  terletak  100-200  meter  di  sekeliling zona inti.  
Zona  ini  diperuntukkan  fasilitas  di  mana  wisatawan  secara  terbatas  bisa  menikmati  alam  dengan  aturan  khusus  agar  tidak  terjadi  gangguan  terhadap ekosistem disekitarnya
c.  Service Zone (Zona Pelayanan Pariwisata), zona ini merupakan area di mana seluruh aktivitas  dan fasilitas pendukung dikelompokan seperti jaringan infrastruktur dasar (parkir, MCK, dan  food court) akses fasilitas, pelayanan pengunjung, dan sebagainya.
Zona ini terletak pada radius 500-800 meter dari zona inti, pada area yang padat penduduk.
d.  Zona Aktivitas Penduduk, zona ini merupakan tempat penduduk beraktivitas dan bukan merupakan bagian dari daerah destinasi wisata.


Kunci  utama  natural  tourism (pariwisata  yang  berbasis  alam)  adalah  lingkungan  disekitarnya.  Namun  hal  ini  seringkali  dilupakan,  banyak  yang  mengejar  keuntungan  ekonomi tanpa memperhatikan disekitarnya. Sehingga kualitas daerah wisata tersebut turun dan keberlanjutannya terancam. Dengan  adanya  zonasi,  maka  pemanfaatan  lahan  disekitar  area  pariwisata  akan terjamin dan akan memperpanjang “umur” dari pariwisata itu sendiri, sehingga manfaatnya akan lebih terasa serta ekosistem yang di dalamnya tetap terjaga.

*Penulis adalah pegiat LPM Siar UKMP UM

Comments

Popular posts from this blog

Pemira FIS Ternodai

Indikasi Pemalsuan Syarat Pencalonan di HMJ Geografi Rabu (25/11) – Ketua Komisi Pemilihan Fakultas Ilmu Sosial (KPFIS), Junaidi, mengatakan   bahwa terjadi beberapa permasalahan pada serangkaian kegiatan Pemilihan Raya (Pemira) FIS. Salah satunya adalah i ndikasi pemanipulasian sertifikat ospek jurusan oleh Himpunan Mahasiswa Jurusan Geografi (HMJ Volcano) untuk wakil calon nomor 1, Rezra. ”Ada ketidakterimaan dari beberapa mahasiswa mengenai salah satu calon, gara-gara ada salah satu calon yang persyaratanya nggak tepat, menurut mereka. Contohnya sertifikat mbak, menurut sang pelapor itu palsu”, ujar Subur selaku Ketua KPFIS.