Feminisme
& Ambiguitas Kesetaraan Hak Perempuan: Perempuan Bukan Warga Kasta
Kedua
yang Lemah
Ardiana Putri*
Picture by: voa_islam.com
Berbicara
mengenai perempuan dan feminisme memang selalu menarik, menggelitik, dan penuh
intrik. Menarik, karena hal ini selalu menjadi bahan perbincangan bahkan seiring
berkembangnya zaman, gerakan-gerakan pemberdayaan perempuan semakin merebak.
Menggelitik dan penuh intrik, buktinya hingga saat ini masih banyak silang
sengketa pendapat dan perdebatan mengenai pemikiran feminis itu sendiri.
Banyak
persepsi yang menyatakan bahwa feminisme adalah datang dari barat. Tuduhan
tersebut sama sekali tidak bertendensi. Feminisme
dapat dikatakan lahir di Indonesia,
karena sejak lama telah ada budaya di Indonesia yang menghargai perempuan. Jauh
sebelum adanya zaman kolonial, masyarakat Indonesia sangat menghargai
kesetaraan. Buktinya, banyak perempuan yang menjadi pahlawan nasional dan tidak sedikit pula perempuan yang bergelut
di ranah politik. Pengaruh penjajahan Belanda membawa dampak buruk terhadap budaya
Indonesia yang telah lama menghargai perempuan. Saat Belanda menjajah
Indonesia, perempuan tidak
lagi memiliki hak politik. Sejak saat itulah Indonesia menjadi lupa budaya
aslinya. Ditambah saat Orde Baru berbagai gerakan perempuan teralienasi. Budaya
patriarki semakin merajai.
Dalam sistem
masyarakat patriarki, laki-laki lekat dengan stereotip maskulin sedangkan
perempuan adalah feminin. Sehingga dalam konstruk ini perempuan merupakan warga
kasta kedua yang lemah dan harus dilindungi. Sementara laki-laki harus selalu
jadi sosok yang kuat dan pantang merajuk apalagi menangis. Di sini, feminisme
hadir untuk menghilangkan dogma tersebut dan tumbuh untuk menuntut kesetaraan.
Masyarakat
Indonesia masih kental dengan budaya patriarki dan telah mendarah daging.
Paradigma seperti itu terus terhegomoni hingga sekarang sehingga perempuan
Indonesia tetap saja dianggap kaum lemah.
Walaupun perempuan Indonesia saat ini sudah dapat dikatakan terberdaya
di berbagai lini, seperti dalam ranah pendidikan, ekonomi, social, dan budaya.
Picture by: dialektis.co
Anggapan
perempuan adalah kaum lemah sebenarnya dapat ditepis oleh berbagai fakta yang
menunjukkan ketangguhan seorang perempuan. Srikandi, nama yang cukup familiar
di telinga masyarakat Indonesia, merupakan
sosok perempuan tangguh yang menjadi simbol kekuatan. Srikandi yang seorang
priyayi tidak ingin dianggap lemah di hadapan laki-laki. Kebiasannya memanah
dan berkuda menjadikannya tuladha bagi
para prajurit wanita saat perang Baratayudha. Senapati wanita seperti Srikandi
ini turut andil dalam kemenangan pihak Pandawa atas Kurawa. Di sini terbukti
bahwa maskulinitas tidak hanya milik lelaki.
Gerwani,
gerakan perempuan di Indonesia yang sangat progresif pada tahun 1950-1960- an
itu juga merupakan upaya menuntut kesetaraan hak dan tanggung jawab yang sama
antara perempuan dan laki-laki. Para perempuan tangguh ini berupaya untuk
memberantas buta huruf di dusun-dusun. Mereka berjuang agar perempuan dan
laki-laki setara dalam hal pendidikan. Bahkan perempuan-perempuan revolusioner
ini terlibat dalam perjuangan melawan
kolonialisme dan revolusi bersenjata pasca Proklamasi 17 Agustus 1945.
Kemudian, siapa yang tidak mengenal sosok Kartini, pejuang
emansipasi wanita. Priyayi Jawa ini getol memperjuangkan kesetaraan pemerolehan
pendidikan. Perempuan tangguh ini begitu berani mendobrak belenggu yang selama
ini menjerat sesamanya. Kartini berhasil mengubah pola pikir masyarakat kala
itu bahwa perempuan hanya boleh berkutat dengan dapur, kasur, dan sumur.
Perempuan
masa kini juga tidak
kalah menunjukkan taringnya. Seperti Patmi dan ibu-ibu pejuang Kendeng lainnya.
Mereka berjuang dan bersikeras menolak pembangunan yang merusak alam. Mereka
berpedoman bahwa alam adalah ibu mereka yang tak boleh sama sekali disakiti.
Para perempuan ini menunjukkan bahwa perempuan tak bisa dipandang sebelah mata.
Perempuan adalah setara. Tidak
boleh ada ketimpangan di sana.
*Penulis adalah pegiat LPM Siar UKMP UM
Comments
Post a Comment