Skip to main content

Bercermin pada Isu SARA dalam Kemajemukan Bangsa

Bercermin pada Isu SARA dalam Kemajemukan Bangsa
*Innocento 
 
Picture by: Nationalgeography.co.id


Sejatinya Indonesia adalah bangsa yang besar dengan beragam budaya yang ada di dalamnya. Keragaman Indonesia ini adalah sebuah keistimewaan yang berasal dari Tuhan Yang Maha Esa. Lalu, apakah yang bersumber dari Tuhan layak untuk digugat? Mungkin pertanyaan semacam itu perlu ditujukan untuk para pihak dengan aksi-aksi penyulut konflik SARA yang mengatasnamakan nasionalisme serta kecintaannya pada negara. Mereka pemicu konflik SARA dan para pencibir kaum minoritas perlu untuk dipertanyakan kembali kecintaannya terhadap negara.

Kenyataannya isu SARA selalu ada di dalam masyarakat kita. Persoalannya adalah bagaimana cara untuk meredam kekuatan isu SARA agar tidak menggoyahkan stabilitas politik, hukum, keamanan, dan kedamaian masyarakat. Hal tersebut dibutuhkan untuk mempertahankan kedamaian di dalam negeri yang plural ini.

Mereka para penyulut konflik SARA dengan mengatasnamakan agama, mayoritas golongan, atau apapun itu, seharusnya perlu memahami kalimat “Tuhan menciptakan manusia laki-laki dan perempuan dan menjadikannya berbangsa-bangsa, bersuku-suku agar saling mengenal.” Kalimat yang dirujuk dari QS. Al-Hujarat ayat 10 ini menyiratkan bahwa Tuhanlah yang menciptakan manusia dengan beragam budaya. Tuhan ingin manusia saling mengenal dan menyayangi, serta hidup dalam perdamaian. Bukankah hati kita juga menginginkan kedamaian? Hukum pun dibuat dengan tujuan untuk membangun keadilan agar rakyat senantiasa hidup dalam perdamaian. Lalu masih perlukah menggugat hukum nasional untuk kepentingan sekelompok orang yang menebarkan isu kebencian terhadap saudaranya, sebangsa dan setanah air?
 
Picture by: Sumbawabaratpost.com

Beberapa kasus SARA pun pernah melanda negeri ini, dan berakibat buruk. Bukan hanya berdampak pada kerusakan materi, namun juga immateril. Korban nyawa adalah yang paling buruk dari kasus SARA ini. Misalnya saja kasus sentimen etnis tahun 1998 yang berujung pada maraknya penjarahan. Kala itu masa pribumi memiliki sentimen buruk pada etnis Tionghoa dan menjadi catatan kelam pada pengujung pemerintahan rezim Soeharto.

Krisis moneter berkepanjangan di tahun 1998 berujung pada aksi besar dan melumpuhkan sektor pemerintahan. Krisis ekonomi yang parah melumpuhkan berbagai sektor ekonomi dalam negeri. Penjarahan, kerusuhan, dan pembakaran tidak dapat dihindarkan. Saat itulah, banyak aset etnis tionghoa dibakar dan dijarah oleh etnis pribumi. Sejarah kelam semacam itu bukankah sangat mengerikan? Sejarah yang mengerikan semacam itu layaknya kita jadikan pembelajaran. Mayoritas ataupun minoritas golongan adalah sama, karena keberagaman ialah ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa. Selayaknya keberagaman dijadikan sebagai keistimewaan bangsa yang kita miliki.

Perlulah dipahami tulisan ini sebagai bahan untuk bercermin, bahwa seyogyanya kita adalah sesama makhluk Tuhan. Keberbedaan penyebutan Tuhan, suku, warna kulit, mata sipit ataupun hidung mancung, semua adalah karunia Tuhan. Sehingga, tak perlu untuk menyulut konflik dan membuat stabilitas negara terganggu.  
*Penulis adalah pegiat LPM Siar UKMP UM
 

Comments

Popular posts from this blog

Menang Tanpa Perang

 Oleh: Fajar Dwi Affanndhi Pesta tak lagi meriah. Tidak seperti pesta yang biasa kita ketahui, hingar bingar, penuh warna-warni, dan dinanti-nanti. Pesta demokrasi di kampus ini sepi. Jangan harap perdebatan panas antar calon pemimpin. Ketika calonnya saja hanya satu. Ya, calon tunggal   tanpa lawan. Pemilu Raya, atau yang biasa kita sebut PEMIRA, kini seakan hilang greget -nya. Hampir di semua fakultas di UM terdapat calon tunggal.   Baik itu calon ketua BEM, ketua HMJ, atau bahkan yang lebih parah, calon DMF yang seharusnya dipilih lima orang dari setiap jurusan, malah hanya ada satu calon dalam satu fakultas yang notabene terdiri dari beberapa jurusan. Padahal, adanya calon tunggal bukan tidak mungkin yang terjadi mereka bakal   “menang tanpa perang”.  

Pemira FIS Ternodai

Indikasi Pemalsuan Syarat Pencalonan di HMJ Geografi Rabu (25/11) – Ketua Komisi Pemilihan Fakultas Ilmu Sosial (KPFIS), Junaidi, mengatakan   bahwa terjadi beberapa permasalahan pada serangkaian kegiatan Pemilihan Raya (Pemira) FIS. Salah satunya adalah i ndikasi pemanipulasian sertifikat ospek jurusan oleh Himpunan Mahasiswa Jurusan Geografi (HMJ Volcano) untuk wakil calon nomor 1, Rezra. ”Ada ketidakterimaan dari beberapa mahasiswa mengenai salah satu calon, gara-gara ada salah satu calon yang persyaratanya nggak tepat, menurut mereka. Contohnya sertifikat mbak, menurut sang pelapor itu palsu”, ujar Subur selaku Ketua KPFIS.

LPJ Ajarkan Korupsi pada Mahasiswa*

Jika kita membicarakan tentang korupsi memang tidak akan pernah ada habisnya. Dari siapa yang bertanggung jawab sampai bagaimana korupsi itu selau meracuni moral bangsa Indonesia. Banyaknya koruptor juga tidak lepas dari peran pendidikan yang ada pada jenjang sekolah ataupun pendidikan yang tertanam pada keluarga sejak kecil. Kebiasaan berbohong yang di ajarkan oleh para orang tua memicu salah satu bibit-bibit koruptor. Contohnya seperti ini, ada orang tua bilang ke anaknya “nak nanti kalau ada yang mencari mama, bilang yaa mama sedang keluar” padahal si mama sedang asyik-asyik menonton TV di dalam rumah. Secara tidak langsung sang mama mengajarkan berbohong pada si anak. Ketika anak terdidik untuk tidak jujur, maka kebiasaan ini akan membentuk karakternya, apalagi tanpa adanya landasan agama yang jelas.