Oleh:
Benny Sanjaya*
Menelisik
kembali kebijakan pemerintah mengenai tax amnesty atau pengampunan
pajak. Pada tahun 1984, Indonesia pernah menerapkan kebijakan pengampunan
pajak. Pelaksanaan kebijakan tersebut tidak efektif dikarenakan wajib
pajak belum merespon dan diikuti oleh reformasi sistem perpajakan secara
terpadu dan menyeluruh. Dilain sisi, belum terbukanya akses informasi dan
kontrol dari Direktorat Jenderal Pajak.
Hal
ini terjadi
bukannya tanpa alasan bahwa kebijakan tax
amnesty mulai diterapkan kembali dan didukung undang-undang yang telah
disahkan oleh pemerintah. Pelaksanaan tax amnesty telah ditetapkan
berdasarkan UU Tax Amnesty No. 11 Tahun 2016. Hal ini dilatar belakangi oleh
moderasi pertumbuhan ekonomi global, ketidakpastian kebijakan moneter, harga
komoditas dan beberapa pengaruh dari negara-negara lain seperti kondisi ekonomi
Amerika yang belum stabil runtut dari krisis yang telah lalu. Kondisi
geopolitik Afrika hingga Brexit menjadi latar belakang peneluran kebijakan Tax
Amnesty.
Hal
ini disinyalir sebagai sebab perlambatan ekonomi Indonesia, defisit neraca perdagangan dan anggaran
membesar, penurunan laju pertumbuhan sektor
industri
dan infrastructure gap menjadi tinggi. Ini menandakan bahwa negara kita
memerlukan suntikan dana dengan alih-alih peningkatan perpajakan. Seperti yang
ditargetkan bahwa pencapaian perpajakan yang ditargetkan adalah 16% atau bahkan
lebih. Dengan kata lain, negara sedang membutuhkan modal yang besar untuk
mendukung segenap aturan yang berbau infrastruktur.
Pada
orde pemerintahan saat ini dengan Nawa Cita yang diusung oleh presiden Joko
Widodo mengisyaratkan bahwa pembangunan digalakkan dengan begitu
bertubi-tubinya. Hal ini tercermin dari agenda realisasi proyek-proyek besar
seperti pembangunan tol Trans Jawa, pembangunan daerah timur, proyek kereta api
cepat, dan lain lain sehingga membutuhkan dana yang besar.
Kebutuhan investasi juga meningkat seiring dana yang dibutuhkan untuk realisasi
proyek-proyek tersebut.
Seperti
yang kita ketahui bersama bahwa kecukupan modal dapat dipenuhi jika permodalan
dalam negeri dirasa tidak mencukupi kebutuhan modal yang ditetapkan. Akibatnya,
perlu dana dari pihak luar berupa modal asing dan pinjaman. Keberadaan tax
amnesty sebagai penjaringan tebusan pajak dimaksudkan untuk meningkatkan
pertumbuhan investasi Indonesia sehingga diharapkan mampu menyelesaikan atau
mengurangi permasalahan mendasar bagi setiap negara yaitu, kemiskinan,
pengangguran dan kesenjangan.
Oleh sebab
itulah,
pemerintah beranggapan bahwa perlu sumber pertumbuhan ekonomi baru dimana sumber tersebut dapat menutup
kemungkinan-kemungkinan dari peningkatan-peningkatan yang bernada negatif. Sumber pertumbuhan baru tersebut
berangkat dari pertumbuhan ekonomi Indonesia yang menurun. Dengan anggapan
bahwa investasi dari luar negeri tidak memberikan kemandirian dan dampak yang
baik bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia. Hal ini berkaitan dengan apa yang kita
rasakan sekarang bahwa banyak terjadi privatisasi dan penggarapan baik sumber
daya alam maupun sumber daya manusia yang dikuasai oleh asing. Sebagai warga
negara Indonesia kita hanya mampu diam dan melihat bahwa keterbukaan investasi bagi asing
masih saja diamini oleh banyak ekonom Indonesia dan pejabat-pejabat
pemerintahan. Hal ini mungkin karena didasari pemikiran bahwa darimana lagi
sumber pembiayaan dan modal didapatkan jika tidak menggandeng pihak luar.
Kesempitan berfikir demikianlah yang menjadikan
kita terbelenggu dalam lilitan hutang luar negeri.
Sebagai
negara yang besar dan berdaulat seharusnya kita menjadi negara yang mandiri
baik dari segi finansial maupun lainnya. Jumlah penduduk yang besar dengan
sumber daya alam yang melimpah seharusnya menjadikan Indonesia negara yang kuat. Faktanya
kita selalu berkaca pada resonansi keilmuan barat dan berkaca dari
negara-negara barat yang notabene
kebijkannya
belum pasti dapat diaplikasikan di negara ini. Sudah sepatutnya pemerintah
menyadari potensi dalam negeri bukan hanya dan mengoptimalkan sumber daya negeri
ini.
Kembali pada tax amnesty, pengertian tax
amnesty adalah penghapusan atas pajak yang seharusnya terutang tidak
dikenai sanksi administrasi perpajakan, maupun sanksi pidana di bidang
perpajakan untuk kewajiban perpajakan 31 Desember 2015 dengan cara wajib pajak
mengungkapkan harta dan membayar Uang Tebusan. Sasaran atau
target tax amnesty ini adalah dana warga negara Indonesia yang parkir atau
disimpan di luar negeri untuk ditarik kembali ke dalam negeri (repatriasi).
Tax
Amnesty sebagai Solusi Pendanaan
Dana
yang kembali ke dalam negeri atau yang terkumpul dari adanya implementasi
kebijakan tax amnesty ini dimaksudkan pada investasi. Dana yang masuk dan terkumpul ini dapat
dijadikan sumber modal atau pendanaan oleh negara sehingga program-program
pemerintah dapat terealisasikan. Dampak yang diberikan dari tax amnesty ini
adalah melimpahnya uang yang ada di Indonesia baik yang dari dalam negeri
maupun luar negeri.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang
dikutip dari Kompas.com, Senin (26/9/2016) pukul 08.00 WIB, harta yang
sudah dilaporkan mencapai Rp 1.770 triliun. Raihan tersebut masih didominasi
deklarasi harta dalam negeri sebesar Rp 1.198 triliun dan deklarasi harta luar
negeri Rp 480 triliun. Adapun harta yang dibawa pulang ke Indonesia atau
repatriasi sebesar Rp 92,6 triliun dan uang tebusan yang masuk ke kas negara Rp
42,2 triliun. Melesatnya perolehan tax
amnesty juga tecermin dari
jumlah Surat Pernyataan Harta (SPH) yang dilaporkan ke DJP. Hingga pagi ini,
jumlahnya sudah mencapai 160.140 SPH. Dibandingkan Agustus lalu, total jumlah
SPH yang masuk hanya 22.183 SPH. Artinya, belum
satu bulan terjadi peningkatan jumlah SPH sebanyak 137.957 SPH.
Besarnya harta yang dilaporkan tersebut telah melampaui pendapatan nasional
yang berkisar Rp. 1508 T berdasarkan hasil audit laporan keuangan pemerintah
pusat tahun anggaran 2015. Dana-dana
tersebut dapat dialokasikan pada ketetapan undang-undang yang menyatakan bahwa
bagi Wajib Pajak yang mengalihkan dan menginvestasikan
hartanya di Indonesia, pengalihan tersebut dilakukan melalui instrumen yang
akan ditunjuk secara khusus, diantaranya SBN, Obligasi BUMN atau Swasta,
Investasi pada bank persepsi, Investasi infrastruktur, Investasi sektor riil, dan bentuk investasi lainnya yang diperbolehkan
oleh ketentuan perundang-undangan.
Pengalihan
harta kekayaan pada instrumen kebijakan pemerintah tersebut memungkinkan
penurunan angka defisit anggaran dan perdagangan. Hal ini berangsur dari
investasi yang masuk dimungkinkan mampu meningkatkan produktivitas nasional
sehingga penawaran agregat juga meningkat sehingga
pertumbuhan ekonomi-pun juga meningkat. Meskipun investasi merupakan salah satu instrument dalam pertumbuhan
ekonomi, pun demikian memiliki dampak yang multidimensional terhadap berbagai
sektor karena berkaitan dengan pendanaan. Pengalihan dana
pada bank persepsi yang ditunjuk pemerintah juga memberikan angin segar pada
perbankan yaitu pada ketersediaan dana bank. Hal ini menjadikan bank liquid
karena tercukupinya likuiditas. Likuiditas bank yang selama ini didominasi oleh
dana pihak ketiga menjadi bertambah dengan adanya pengalihan kekayaan WP yang
mengikuti tax amnesty. Dampak-dampak lain menjadikan peningkatan berbagai
sektor termasuk infrastruktur, sektor
riil dan lainnya. Agaknya tax amnesty menjadi solusi alternatif yang diyakini oleh pemerintah dalam mencukupi dana dan merangsang pertumbuhan ekonomi melalui
investasi.
Pesimisme Tax
Amnesty
Psimisme tax amnesty
berangkat dari tujuan utama tax amnesty yaitu ketersediaan dana untuk
investasi. Pertanyaannya adalah apakah tax amnesty itu benar-benar
menjadi solusi alternatif yang memberikan kesejahteraan pada
masyarakat? Hal-hal yang diungkapkan diatas merupakan hasil dari adanya tax
amnesty dengan tidak menutup kemungkinan bahwa tax amnesty juga
memberikan suatu dampak yang negatif. Dampak negatif
tersebut diantaranya:
a.
Untuk siapa
kebijakan Tax Amnesty tersebut? Sedikit banyak bahwa sasaran tax amnesty
adalah WP yang terutang pajak. Namun, melihat kembali sasaran-sasaran yang
dituju oleh pemerintah adalah pengusaha-pengusaha Indonesia yang notabenenya
adalah orang-orang kalangan menengah atas dengan
proporsi kekayaan yang tinggi. Hal ini menjadikan tax amnesty sebagai
kesempatan bahwa orang-orang tersebut untuk lari dari sanksi perpajakan (tax
avoidance). Dengan mengikuti tax amnesty sudah barang tentu kekayaan yang
ia kumpulkan selama ini dan tidak tersentuh pajak akan berkurang sedikit karena
mengikuti tax amnesty. Adanya tax amnesty ini menjadi ajang bagi WP yang
memiliki kekayaan tinggi untuk mengefisiensikan pajak yang tertanggung dan
terutang. Ditambah lagi dengan adanya jaminan bahwa setiap pelaporan yang
dilakukan oleh WP tidak dapat dijadikan bahan penyidikan dan pengusutan. Ditambah
dengan Ditjen Pajak tidak mengurus atau tidak mau tahu darimana sumber kekayaan
tersebut.
b.
Jebakan Tax
Amnesty, hal ini berangkat dari besarnya dana
yang terkumpul. Besarnya dana yang terkumpul memungkinkan tax amnesty
menjadi jebakan bagi Indonesia. Hal ini berkaitan dengan permintaan agregat dan
konsumsi masyarakat. Sebagai contoh, bank persepsi yang
ditunjuk pemerintah mendapatkan likuiditas keuangan yang tinggi, tetapi dalam
hal penyalurannya tidak mendapatkan perhatian yang lebih. Mereka berfokus pada
bagaimana mendapatkan dana yang besar tanpa memikirkan bagaiaman dana tersebut
disalurkan seperti fungsi bank tersebut sebagai
lembaga intermediasi keuangan. Akhirnya, perbankan Indonesia dimungkinkan
mengalami jebakan likuiditas (liquidity trap). Besarnya dana yang
ditampung perbankan dengan yang disalurkan tidak seimbang. Permasalahan ini
bukan berarti tidak mungkin terjadi mengingat
animo masyarakat Indonesia yang mudah sekali terpengaruh oleh isu-isu viral.
Besarnya dana tersebut juga menurut pemerintah akan dialirkan ke sektor infrastruktur dan sektor
riil. Sekali lagi kembali pada permasalahan konsumsi masyarakat, jika tidak ada rangsangan dari pemerintah untuk
meningkatkan kredit di masyarakat maka tax amnesty akan hanya dinikmati
oleh masyarakat budgetis saja.
c.
Mensejahterakan Vs
Menyengsarakan
Arah atau
alur pengaliran dana tax amnesty dan pengalihan kekayaan hanya berkutat
pada basis profit oriented. Bagaimana tidak bahwa masyarakat yang
tergabung dalam tax amnesty dalam pemindahan kekayaan dialihkan pada SBI,
Obligasi dan instrument-instrumen pemerintah lain yang dalam kaitannya memiliki
bunga. Hal ini menjadikan bahwa dengan mengikuti tax amnesty yang
dikenakan bunga tebusan berkisar antara 2%-10% akan kembali atau balik modal
dengan hanya mengikuti atau membeli SBI atau Obligasi dengan minimal 2 kali
periode. Dengan kata lain mensejahterakan bagi siapa tax amnesty
tersebut? Bagaimana dengan kalangan bawah yang bahkan terus ditekan untuk
membayar pajak tanpa adanya kelonggaran? Hal tersebut menunjukkan bahwa kelonggaran tax amnesty ini hanya dirasakan
oleh segelintir orang saja. Akhirnya yang kaya akan semakin kaya dan yang
miskin tetap pada kodrat kemiskinannya.
Kesimpulan
Adanya
Tax
Amnesty dapat dikatakan membantu negara dalam beberapa
kasus. Akan tetapi, selayaknya pemerintah juga memikirkan bagaimana memandirikan
dan mengoptimalkan potensi bangsa ini. Jangan hanya melihat pada satu sudut
pandang yang diuntungkan saja. Pertimbangan-pertimbangan kerakyatan sepatutnya
dikaji secara menyeluruh
tanpa adanya pembedaan dan keberpihakan dengan
menyadari bahwa potensi negara ini begitu besar. Semoga dengan berlangsungnya tax
amnesty ini hingga akhir penulis mendapatkan jawaban-jawaban atas pesimisme
yang diungkapkan.
*Mahasiswa
Jurusan Ekonomi Pembangunan FE UM Angkatan 2013
Comments
Post a Comment