Skip to main content

SELAMAT DATANG, MAHASISWA!



“……yang sungguh dinantikan adalah menjadi nabi baru penyeru keadilan dengan rela turun ke jalan mendampingi rakyat yang sendirian.”


Hidup Mahasiswa!!!
Selamat datang maba UM 2016. Setelah melalui berbagai tahap, menjadi yang terpilih dari puluhan ribu pendaftar, resmilah kawan-kawan memperoleh predikat mahasiswa. Sebuah status sosial yang hanya bisa disandang oleh seorang yang menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Sesederhana itukah menjadi mahasiswa? Nyatanya, julukan-julukan seperti agent of change, moral force, iron stock, dan agen pembangunan masih menjadi bagian dari pemaknaan terhadap mahasiswa. Julukan-julukan ini merupakan warisan dari mahasiswa terdahulu dengan kisah-kisah perjuangannya dalam merevolusi kehidupan bangsa, terlepas dari apa yang mereka geluti dimasa ini: menjadi bagian dari yang mereka hujat dulu atau tersisihkan akibat mengimani idealismenya.
Mahasiswa memiliki peranan penting, bahkan menjadi genting dalam kondisi di mana ketajaman analisis, implementasi teori, dan aksi yang mereka laksanakan menjadi kontrol sosial terhadap kebijakan birokrasi yang menyimpang. Agen perubahan, pewaris tajuk kepemimpinan, dan julukan-julukan lainnya yang seakan menggambarkan bahwa mahasiswa menggantikan tugas seorang nabi. Kini, julukan itu makin berat dipikul. Betapa tidak? biaya kuliah yang mencekik itu sudah cukup kuat untuk menghentikan pembuluh nadi perjuangan.
Demi menjalankan harapan sosial tentang tindak perubahan, mahasiswa akan dihadapkan dengan pilihan-pilihan yang memilukan, antara memilih pulang larut malam dari kampus untuk sekadar berdiskusi, atau lebih baik menyegerakan tidur di kasur empuk seusai kuliah. Memilih untuk bekerja demi membayar biaya kuliah, atau menyuburkan budaya hedonis di pusat perbelanjaan depan kampus. Namun, lebih dari  itu, yang sungguh dinantikan adalah menjadi nabi baru penyeru keadilan dengan rela turun ke jalan mendampingi rakyat yang sendirian.
Semua itu kembali kepada konstruksi pemahaman mahasiswa terhadap peranannya. Seorang mahasiswa bebas memilih untuk menjadi “mahasiswa” seperti apa yang mereka yakini. Ada kewajiban yang mesti dipenuhi sesuai porsinya masing-masing. Sekali lagi, kami ucapkan selamat datang, selamat berproses, cintai kampusmu dengan memberikan yang terbaik namun jangan pernah takut untuk memperbaiki!

Tim Redaksi

Comments

Popular posts from this blog

Menang Tanpa Perang

 Oleh: Fajar Dwi Affanndhi Pesta tak lagi meriah. Tidak seperti pesta yang biasa kita ketahui, hingar bingar, penuh warna-warni, dan dinanti-nanti. Pesta demokrasi di kampus ini sepi. Jangan harap perdebatan panas antar calon pemimpin. Ketika calonnya saja hanya satu. Ya, calon tunggal   tanpa lawan. Pemilu Raya, atau yang biasa kita sebut PEMIRA, kini seakan hilang greget -nya. Hampir di semua fakultas di UM terdapat calon tunggal.   Baik itu calon ketua BEM, ketua HMJ, atau bahkan yang lebih parah, calon DMF yang seharusnya dipilih lima orang dari setiap jurusan, malah hanya ada satu calon dalam satu fakultas yang notabene terdiri dari beberapa jurusan. Padahal, adanya calon tunggal bukan tidak mungkin yang terjadi mereka bakal   “menang tanpa perang”.  

Pemira FIS Ternodai

Indikasi Pemalsuan Syarat Pencalonan di HMJ Geografi Rabu (25/11) – Ketua Komisi Pemilihan Fakultas Ilmu Sosial (KPFIS), Junaidi, mengatakan   bahwa terjadi beberapa permasalahan pada serangkaian kegiatan Pemilihan Raya (Pemira) FIS. Salah satunya adalah i ndikasi pemanipulasian sertifikat ospek jurusan oleh Himpunan Mahasiswa Jurusan Geografi (HMJ Volcano) untuk wakil calon nomor 1, Rezra. ”Ada ketidakterimaan dari beberapa mahasiswa mengenai salah satu calon, gara-gara ada salah satu calon yang persyaratanya nggak tepat, menurut mereka. Contohnya sertifikat mbak, menurut sang pelapor itu palsu”, ujar Subur selaku Ketua KPFIS.

LPJ Ajarkan Korupsi pada Mahasiswa*

Jika kita membicarakan tentang korupsi memang tidak akan pernah ada habisnya. Dari siapa yang bertanggung jawab sampai bagaimana korupsi itu selau meracuni moral bangsa Indonesia. Banyaknya koruptor juga tidak lepas dari peran pendidikan yang ada pada jenjang sekolah ataupun pendidikan yang tertanam pada keluarga sejak kecil. Kebiasaan berbohong yang di ajarkan oleh para orang tua memicu salah satu bibit-bibit koruptor. Contohnya seperti ini, ada orang tua bilang ke anaknya “nak nanti kalau ada yang mencari mama, bilang yaa mama sedang keluar” padahal si mama sedang asyik-asyik menonton TV di dalam rumah. Secara tidak langsung sang mama mengajarkan berbohong pada si anak. Ketika anak terdidik untuk tidak jujur, maka kebiasaan ini akan membentuk karakternya, apalagi tanpa adanya landasan agama yang jelas.