photo: Ahlam/Siar |
Entah
bagaimana mulanya, Universitas Negeri Malang sebagai The Learning University selalu identik dengan mahasiswa pendidikan
dengan stigma patuh, normatif, rapi, kuper, stagnan, standar, bahkan
mungkin—membosankan. Tentu Anda boleh sekali tidak sepakat dengan pernyataan
tersebut, namun barangkali yang barusan itu, sekurang-kurangnya pernah
terlintas di benak kita sebagai mahasiswa UM, terutama ketika membanding-bandingkan
diri kita sendiri dengan mahasiswa kampus lain.
Mungkin
juga analisis saya salah telak, justru Anda semua sebagai mahasiswa UM merasa
sebaliknya, bangga sebagai bagian dari Universitas tua yang ikut serta merekam
perjalanan sejarah dan turut larut berkontribusi pada pembangunan negara karena
memproduksi jutaan guru, pahlawan tanpa tanda jasa. Apapun itu, sikap dan
perasaan Anda terhadap UM tercinta, rupanya kita musti prihatin.
Ada
kekhawatiran yang khas tentang UM,
dimana dengan label pendidikan yang divisualisasikan sebagai seorang guru
dengan serentetan sifat-sifat yang membuntutinya: terpelajar, taat aturan,
teladan, bersahaja dan lain-lain itu, adalah pembenaran untuk meruntuhkan
idealisme sebagai mahasiswa yang sarat akan kekritisannya dan memiskinkan wujud
esensi perubahan sebagai kaum steril kepentingan.
Tidak
luput kita menyalahkan sistem yang menciptakan struktur dan alur kelumpuhan
yang demikian kompleks dan mengakar, kiranya
kita juga perlu membaca seperti suasana hati para mahasiswa UM hari ini dan
bagaimana dampaknya pada garis besar pendidikan skala nasional.
Suasana UM hari ini
Entah
apa yang sedang diburu kawan-kawan pergerakan ekstra kampus, selain kursi
presiden dan dewan mahasiswa, selain upaya-upaya penjaringan kader baru di masa
PKPT. Entah apa juga yang dikerjakan rekan-rekan pejabat organisasi tingkat
fakultas atau jurusan, selain sibuk tentang program kerja event inagurasi yang
biasanya hanya seputar hahahihi, selain sibuk berlomba membikin konser paling
megah di Graha Cakrawala. Mungkin itulah tolak ukur kesuksesan organisasi
mahasiswa di UM saat ini.
Menengok
seputar akademis, bukan hal yang baru lagi bahwa mahasiswa UM juga sedang disibukkan kegiatan membikin
kripik sandal untuk memperdalam kreativitas dan inovasi, guna memburu
kompensasi berupa sertifikat dan uang tunai yang dapat digunakan membayar SPP
semester depan. Para dosen pun juga mendorong sekencang-kencangnya mahasiswa
untuk menciptakan gagasan-gagasan yang disebut ‘kreatif’ untuk meningkatkan
akreditasi institusi. Sementara itu, kita mungkin menyadari soal karakter
mahasiswa UM secara personal yang beraneka ragam, mungkin berada pada range yang lebar, namun kiranya ada
kecenderungan suasana hati mereka dalam beberapa garis besar, yakni mahasiswa
yang berorientasi pada Indeks prestasi kumulatif yang tidak akan pernah hilang,
pun mereka yang mengaku bohemian dengan rambut gondrong, celana belel, kaus
lusuh juga tidak lantas pudar, dan kiranya arus paling deras (mungkin juga
menjangkiti kampus lain) adalah pragmatisme mahasiswa yang direpresentasikan
dengan ketidakpedulian atas lingkungan sekitar, karena mahasiswa yang
sedemikian hanya peduli dengan ijazah, lulus kuliah kemudian kerja.
Mari
coba kita analisis, dengan wadah organisasi yang memiliki tujuan sebegitu
dangkalnya, ditambah dengan karakteristik mahasiswa UM yang sedemikian krisis
identitas sebagai seorang pemuda bangsa, maka bukan tidak mungkin kelumpuhan
mahasiswa sebagai pusar pergerakan itu tercipta secara alamiah, tanpa harus
susah-susah mengotori tangan tirani sebagaimana jaman 90an. Suasana yang
‘terlihat’ baik-baik saja inilah yang perlu diwaspadai, bisa jadi hal tersebut
menggiring pada alpanya ruang-ruang diskursus para mahasiswa, akibatnya segala
kegiatan pendidikan yang telah dirancang
hanya bermuara pada kenaifan belaka. Tidak hanya soal pendidikan tinggi
yang semakin ahistoris, namun soal kampus yang tidak lagi berdinamika adalah
sebuah paradoks tersendiri.
Kedua,
suasana yang ‘dibuat’ baik-baik saja itu
membikin mahasiswa kehilangan kesempatan mengembangkan diri sebagaimana kaum
terpelajar yang memiliki substansi luhur, tidak heran jika mahasiswa yang
seharusnya menjadi muda dan berbahya tersebut, kini terjebak pada hal-hal
teknis yang normatif. Jika ingin ditafsir lebih jauh, suasana UM hari ini tak
lebih dari gudang pelabuhan tempat singgahnya barang mentah dari kapal-kapal
besar, yang selanjutnya hanya menjadi komoditas industri di luar sana. Karakter
mahsiswa yang kritis terbunuh oleh situasi yang gagal menyalurkan kelebihan
energi. Timpang dan tidak dinamis.
Kekhawatiran terbesar
UM
dulu memang adalah IKIP, sebuah institut keguruan yang banyak memproduksi
praktisi pendidikan. Dalam perkembangannya UM memberanikan diri membuka beberapa
jurusan-jurusan non-kependidikan, namun tetap saja genre pendidikan masih mendominasi wisudawan/wisudawati di setiap
angkatan kelulusan. Artinya, lulusan UM memiliki kontribusi yang besar terhadap
masa depan pendidikan di Indonesia. Barangkali terjadinya kekacauan di dunia
pendidikan kini, tidak terlepas dari rendahnya mental dan moral para guru atau—kalau
tidak mau disebut para karyawan pendidikan.
Disinilah
letak relevansinya, proses pembunuhan karakter kritis sejak mahasiswa membawa
dampak pada implementasi pendidikan di dunia nyata. Jika sejak perguruan tinggi
paradigma kritis tidak terbangun, maka bagaimana mungkin seorang guru lulusan
UM dapat memiliki mental dan moral yang mumpuni menjadi seorang pengajar
sejati?
Lantas
dari mana kita bisa mengharapkan perubahan ke arah yang lebih baik jika
generasi muda kelak juga mendapatkan pelayanan pendidikan yang masih sama
dengan apa yang kita rasakan sekarang, bahwa guru adalah subjek belajar dan
murid adalah objek belajar?
Proses
dehumanisasi akan terus berulang, sakit hati demi sakit hati di dunia
pendidikan hanya akan menjadi meme comic di jejaring sosial, tanpa ada
perubahan yang berarti. Jika saja mahasiswa UM mau meluangkan waktu untuk
membaca Paulo Freire, mengilhami sejenak tentang apa itu arti pendidikan yang
memanusiakan manusia, maka perlahan kita juga akan sadar, bahwa mungkin ada
yang salah pada proses kita bertumbuh dan berkembang di kampus bergenre
pendidikan, the learning university,
Universitas Negeri Malang.
***
Demikian
alur kelumpuhan mahasiswa UM beserta prediksi akibat yang dapat menjalar begitu
fatal. Kelumpuhan ini entah mampu
dideteksi oleh kesadaran atau justru luput oleh euforia ajang pencarian bakat
yang menyilaukan sebagian besar anak muda, yang jelas kita mesti berani
merefleksikan kembali.
(Mutia Husna Avezahra)
harusnya Ȳyang ideal bagaimana mbak?
ReplyDelete